Jam menunjukkan hampir pukul sepuluh malam sekarang. Berbagai macam kendaraan di luar sana masing saling menyautkan klaksonnya masing, tidak mau kalah.Mereka pikir dengan membunyikan klaksonnya terus-menerus akan membuat macet itu tiba-tiba selesai, menjalankan kendaraannya masing-masing dengan laju normal, tidak kan? Lalu apa sebenarnya fungsi dari klakson tersebut yang terus berbunyi.
Hydra menghela nafasnya kembali, tidak kurang dari lima belas menit mulai sekarang cafenya akan segera ditutup. Ia mungkin bisa menyicilnya dari mengangkat kursi ke atas meja dan membersihkan beberapa tempat yang kotor.
Gadis itu berjalan santai dengan apron coklat bertuliskan nama Hydra yang ter-letter indah pas di depan saku apron tersebut. Ia memang sengaja mendesain apron dengan nama masing-masing. Itu sedikit berarti baginya.
Kembali dengan pekerjaannya, gadis itu memulainya dari belakang. Tak terlalu kotor, hanya ada beberapa tumbahan susu di atas meja, juga beberapa kentang goreng yang jatuh berserakan di lantai cafe.
Gadis itu menunduk, mengambil yang bisa di gapai oleh tangannya. Berdecak, ini susah.
Kring kring
Hydra tanpa sadar membuka mulutnya. Apa-apaan begini, ia melirik jam tangannya, kurang dua menit lagi jam sepuluh malam, itu tandanya dua menit lagi cafenya akan segera ditutup.
Namun lihatlah siapa yang datang itu. Cih, ia memang baik pada setiap customer yang datang, tapi mungkin untuk yang satu ini, ia harus segera mengusirnya.
Ia berdiri, berusaha mengatur ekspresinya setenang mungkin. Ia pasti bisa mengusir customer ini.
Hanya beberapa langkah ia berjalan, ia sudah bisa melihat customer yang tidak tahu diri itu sedang duduk di salah satu meja cafe bagian depan.
Dia seorang laki-laki, mungkin berumur dua atau tiga tahun di atasnya.
Tampilannya berantakan, mulai dari baju hingga celananya, semuanya berantakan. Tidak ada kesan rapih sama sekali.
Mungkin pria itu menyadari keberadaannya, wajahnya berbalik, mungkin berusaha menilainya, tapi untuk apa juga ia menilainya, jelas-jelas ia sedang menggunakan apron sekarang.
Hanya orang gila yang akan bertanya di mana pegawai cafe ini kepadanya.
Tapi, mungkin pria di depannya ini salah satu orang gila di dunia ini.
"Mbak, pegawai cafenya mana ya?". Pria itu bertanya astaga, dengan wajah polos yang terlihat kedinginan. Hydra bisa berkelahi loh.
"Mas, bisa berantem?".
"Eh?". Pria itu bertanya dengan wajah bingung.
Oke lupakan mengenai Hydra hang ingin berantem, lupakan juga mengenai Hydra yang ingin mengusir pria ini.
Ia berjalan ke tempat pemesanan, diikuti juga dengan pria itu.
"Mau pesan apa, mas?". Hydra mengerutkan kembali alisnya, pria ini masih terlihat begitu bingung.
"Saya nggak mau pesan apa-apa mbak. Cuma numpang neduh, makanya tadi nyari pegawai cafenya untuk izin dulu".
Berusaha sabar, Hydra mengintip ke luar, bagian depan cafe ini memang sengaja ia desain menggunakan kaca saja, agar masih bisa melihat pemandangan di luar, kembali dengan apa yang ia ingin lihat, ternyata hujan turun dengan deras di luar sana.
Tak ada lagi klakson para pengendara yang berbunyi saling bertautan, juga tak ada lagi macet panjang yang tak henti-henti.
Gadis itu kembali menatap pria di depannya. Rambut lepek, jaket yang terlihat basah, juga celana pria itu yang sedikit kotor.
"Ya udah mas, neduh aja, nggak apa-apa. Tapi kalau boleh tahu, mas sukanya minuman apa ya?".
Pria itu kembali menampilkan wajah bingungnya. Kemudian berkata. "Kopi hitam, mbak". Jawabnya pelan.
Hydra mengangguk paham, kemudian dirinya sibuk mengambil cangkir, juga beberapa tempat persediaan bubuk kopi dan gula yang ada di bawah rak.
Pria itu sudah pergi untuk duduk sedari tadi. Hujan di luar sana masih terus turun membasahi bumi.
Sekitar lima menit semuanya selesai. Hydra mangambil nampan, meletakkan satu gelas kopi hitam hangat juga satu gelas matcha latte hangat.
Ia berjalan dengan nampan yang ia pegang ke meja pria itu. Pria itu terlihat tenang menghadap ke arah depan bagian cafe. Mungkin menunggu hujan reda.
"Diminum, mas". Hydra bersuara. Ia juga ikut duduk ditempat pria itu duduk. Mungkin hanya akan menemani customer yang bukan customernya ini menghabiskan segelas kopi hitam hangat yang ia hidangkan.
Pria itu berbalik, tersenyum hangat. "Terima kasih, mbak".
Hydra mengangguk pelan. Selebihnya senyap. Hanya suara rintikan hujan yang menyentuh aspal menjadi alunan melodi malam itu.
"Mbak, sudah lama kerja di sini?".
Hydra yang mendengarnya, berpikir sejenak, kemudian menjawab, "mungkin sekitar satu tahun-an, mas".
Pria itu mengangguk pelan. Senyap kembali menyerang mereka berdua.
"Mas, memangnya kau kemana jam begini masih di luar?". Hydra membuka topik. Mungkin sedikit klise. Tapi tak apa.
"Bukan mau kemana mbak, saya habis dari kampus utuk bertemu salah satu dosen saya".
"Malam-malam begini?".
"Iya".
"Kenapa malam benget, Mas. Memangnya nggak bisa di tunda dulu?".
"Nggak bisa, Mbak. Dosen saya orangnya super sibuk. Dan katanya jadwalnya yang kosong cuma tadi".
"Susah juga ya".Pria itu tersenyum mendengar kalima Hydra yang terakhir.
Lalu, kemudian pria itu berdiri. Merapikan kaosnya yang tidak terlalu basah dikarenakan jaketnya sudah ia lepas.
"Terima kasih banyak, Mbak. Saya pulang dulu ya, terima kasih juga untuk kopi hitamnya, Mbak. Mungkin lain kali saya bisa mampir. Tapi saya selalu berharap mbak, semoga semesta selalu punya skenario terbaik agar kita bertemu lagi". Pria itu tertawa kecil setelahnya. Kemudian berjalan pergi.
Hydra tersenyum kecil, ucapan pria itu aneh, tapi ia semogakan juga dihatinya. Pandangannya mengiringi pria itu yang berjalan keluar dari cafenya. Pria itu menggunakan vespa berwarna abu gelap yang terlibat tua.
Sebelum benar-benar pergi, ia bisa melihat pria itu berbalik ke arahnya dengan senyum kecil khasnya.
Entahlah, pria itu aneh.
Gadis itu kembali membersihkan setelahnya. Tak lama, hanya sekitar sepuluh menit karena tadi ia sudah menyicilnya. Mengambil kunci mobilnya, memeriksa setiap sudut, mematikan lampu juga ac, gadis itu benar-benar menutup pintu cafenya.
Hari ini semesta sedikit baik kepadanya. Ya, sedikit.
KAMU SEDANG MEMBACA
BACA
Teen Fiction"Stigmamu mengenai aku yang selalu terlihat kuat mungkin harus ku patahkan sejak dulu, Ra." "Seseorang memang hidup untuk dirinya sendiri, Ra. Karena kalau untuk diri orang lain, buat apa?, itu hanya akan membuat sakit." "Sa, beberapa hal memang seh...