"Mbak Hydra, kemarin kemana? Kok nggak singgah?." Perkenalkan, yang barusan berbicara itu namanya Mei. Satu-satunya barista di Cafe ini.Hydra yang mendengarnya tersenyum kecil. "Lagi capek aja, Mei."
Mei mengangguk-ngangguk kecil mendengarnya.
"Kemarin ramai?." Gadis itu bertanya sembari membersihkan meja yang tidak jauh dari Mei.
"Lumayan lah, Mbak. Tapi, kemarin ada yang nyari".Hydra berbalik, mengangkat kedua alisnya tanda bertanya.
"Nggak kenal. Tapi, orangnya aneh, Mbak. Katanya sih pengen bayar kopi hitam yang dia hutang". Alis gadis itu mengekrut, seingatnya ia tidak pernah membiarkan orang-orang berhutang di cafenya.
"Namanya siapa, Mei?."
"Nggak tahu, Mbak. Gue nggak ngomong banyak sama si Masnya. Soalnya takut".Hydra yang mendengarnya terkekeh kecil. Ngapain takut coba.
"Ciri-cirinya gimana, Mei?." Mei, gadis itu sedikit berpikir. Lalu tiba-tiba menyeru kencang.
"Dia cakep, Mbak."
"Yaelah, Mei. Kalau cakep mah semua orang juga cakep. Yang spesifik gitu deskripsiaannya."
"Aduh gimana ya, Mbak. Soalnya emang cakep banget."Menggelangkan kepalanya kecil. Gadis itu meletakkan lap yang ia barusan ja gunakan untuk membersihkan meja. "Lanjut kerja gih. Mbak, mau keluar sebentar".
Setelahnya gadis itu melangkah pergi. Meninggalkan Mei yang cemberut karena ia sendiri lagi.
Oh iya, mengenai Mei yang memanggilnya dengan sebutan Mbak. Itu sebenarnya hanya kata pemanis biar nggak durhaka banget. Itu kata Mei sih. Padahal kalau diukur dari segi umur, malah Mei yang lebih tua darinya. Tapi sudahlah, terserah gadis itu saja.
Fokus dengan jalanan didepan sana. Hari ini cuaca bagus. Ia tersenyum kecil.
Tuhan selalu sayang banget, Ra, sama kamu.
Menghembuskan nafasnya kecil. Gadis itu mungkin akan menghadapi banyak hal hari ini. Tapi, tak apa. Karena dari dulu, seharusnya memang begitu.
Mobilnya berhenti tepat di depan toko bunga. Menarik nafasnya sebentar, gadis itu kemudian membuka pintu mobilnya.
Ia berjalan pelan. Toko bunganya hari ini sedikit ramai. Gadis itu melangkah masuk. Berbagai macam bunga dengan aroma menyejukkan akan menyambut siapa saja yang berkunjung ke toko bunga tersebut.
"Nak Hydra." Hydra yang mendengarnya tersenyum kecil. Tadi, yang menyapa itu Pak Tio, beliau yang punya toko bunga ini.
"Sudah jadi, Pak?."
"Sudah, Nak. Sudah bapak siapkan dari kemarin khusus untuk Nak Hydra".Hydra tersenyum kecil mendengarnya. Pak Tio akan selalu menyenangkan jika diajak berbicara. Gestur wajah bersahabat yang terlihat masih sangat bersemangat itu, memang akan selalu menyenangkan jika kita bertemu.
Tebakanmu benar. Aku akan selalu suka toko bunga ini.
"Mau kesana lagi, Nak Hydra?."
"Iya pak. Hari ini kan saya ulang tahun."Pak Tio mengangguk kecil. Lalu, beliau menatap kecil bunga yang ada di dekapan Hydra.
"Salam ya, Nak".
"Iya, Pak. Pasti akan saya sampaikan. Kalau begitu saya permisi dulu, Pak".Kemudian gadis itu mengambil tangan kanan Pak Tio. Di salaminya perlahan tangan yang sudah terlihat keriput itu.
"Salam sama, Ibu Ita, ya, Pak."
"Nanti pasti bapak sampaikan, Nak."Gadis itu kemudian melangkah pergi. Meninggalkan Pak Tio dengan raut wajah yang kali ini terlihat berbeda.
Sedangkan Pak Tio tersenyum kecil setelah memastikan gadis itu menaiki mobilnya dengan benar.
Ia mengenal Hydra sekitar empat tahun yang lalu. Terlalu banyak hal mengejutkan dari gadis itu jika kalian belum mengenalnya.
Sama halnya sekarang. Gadis itu masih terlalu mengejutkan.
Hati-hati Nak Hydra.
****
Hydra tiba beberapa menit setelahnya. Sebenarnya toko bunga tadi tidak terlalu jauh dari tempat yang ia datangi sekarang.
Gadis itu mematikan mobilnya. Menatap sekitar yang terlihat sepi.
Menarik nafasnya dalam-dalam. Gadis itu tersenyum kecil. Ini masuk tahun kedua.
Membuka pintu mobilnya. Gadis itu melangkah pelan. Berjalan sangat hati-hati agar tidak melukai seorang pun.
Hanya sekitar lima puluh meter gadis itu berjalan. Lalu setiba di mana tempat yang ia ingin singgahi, gadis itu mendudukkan dirinya tanpa alas sedikit pun. Hanya tanah kering.
"Halo, Ra." Ucapnya pelan. Sama seperti tahun lalu, masih tak ada sahutan.
"Aku baca surat kamu tadi. Masih sama, tulisan kamu masih selalu menyenangkan untuk dibaca sendirian. Harusnya semesta tahu, Ra, kalau ada orang yang punya tulisan indah seperti kamu."
Masih sama. Tak ada sahutan.
"Dua tahunku berjalan menyebalkan, Ra. Stigma mu mengenai aku yang selalu terlihat kuat mungkin aku harus patahkan dari sejak dulu. Aku masih tetap anak remaja yang berusaha tumbuh menjadi gadis dewasa, Ra. Berusaha bertahan di carut marut dunia yang menggila." Sudah, pertahan gadis itu runtuh. Air mata yang sejak pertama kali ia menginjakkan kembali kakinya di sini sudah ia tahan akhirnya luruh juga.
Tapi, tetap saja tak ada sahutan.
"Pria itu masih terus saja datang, Ra. Dan aku benci karena diriku nggak bisa ubtuk atasin itu. Aku selalu kabur. Tapi, mungkin nanti akan ku usahakan menyelesaikannya. Dan juga Pak Tio seperti biasa nitip salam, Ra. Beliau semakin baik, Ra." Gadis itu menghapus kasar air matanya yang sekali lagi turun tanpa ia minta.
Dan, masih sama, tak ada sahutan sama sekali.
"Kamu nggak mau ngomong gitu, Ra. Aku janji nggak akan menanggapi ucapan mu lagi dengan alis yang mengkerut tanda tak menyukai apa yang kamu bahas." Diam sebentar, gadis itu menatap lamat segumpalan tanah basah didepannya yang baru saja ia siram dengan air yang ia bawa.
"Seharusnya kamu nggak kayak gini, Ra." Ucapnya kecil.
Dan pada akhirnya akan selalu tak ada sahutan.
Gadis itu berdiri setelahnya. Menatap lamat-lamat tempat pemberhentian terakhir bagi mereka yang memercayai bahwa tuhan hanya ada satu disemesta yang terlalu ramai ini.
Gadis itu sekali lagi menarik nafas panjang. Membiarkan semilir angin menjatuhkan daun kering di sekitar rambutnya.
Seharusnya memang seperti itu. Selayaknya daun jatuh yang selalu menyerahkan dirinya jatuh diterbangkan angin tanpa marah sedikitpun.
"Aku pulang, Ra. Selamat hari, Ra, sedunia juga."
Kemudian gadis itu melangkah pergi setelah memastikan bahwa bunga yang ia letakkan tadi mungkin tidak akan jatuh.
Berjalan pelan seperti tadi. Gadis itu cepat-cepat masuk ke dalam mobilnya. Membiarkan air mata yang sudah turun tadi semakin turun.
Deras, itu tangisan pilu yang menyedihkan. Tangisan seseorang yang seperti baru saja kehilangan hal untuk selamanya.
Lama gadis itu menangis. Kali ini ia menyayangi kembali dirinya. Ini sejatinya Hydra. Hydra yang kalian kenal dengan gadis pemurung dengan tampang galak luar biasa itu tidak akan terlihat sekarang. Seberapa besarpun kalian mencarinya.
Sedangkan dekat dari sana. Di dalam sebuah mobil hitam. Pria lansia dengan wajah tegas yang masih terlihat sangat beribawa itu melihat segalanya.
Melihat bagaimana Hydra memeluk dirinya sendiri karena ia menangis terlalu kencang. Melihat Hydra yang menangis tersedu-sedu tak berhenti. Semuanya. Tak ada yang luput satupun dari penghilatannya.
Pria lansia itu tersenyum kecut. Genap dua tahun hari ini. Dan semuanya masih berjalan amat menyebalkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
BACA
Teen Fiction"Stigmamu mengenai aku yang selalu terlihat kuat mungkin harus ku patahkan sejak dulu, Ra." "Seseorang memang hidup untuk dirinya sendiri, Ra. Karena kalau untuk diri orang lain, buat apa?, itu hanya akan membuat sakit." "Sa, beberapa hal memang seh...