"Nara Ayundra! Sudah Papa bilang, jangan pernah berbicara pada siapapun! Dan jangan pernah mengucap 'kan hal aneh pada orang-orang! Hapus semua halusinasi mu itu! Kenapa kamu tidak mengerti juga, hah?! Papa malu, memiliki anak aneh seperti mu, Nara!" bentak seorang pria paruh baya, pada gadis yang tengah duduk dimeja makan.
Lelaki itu, terus menatap tajam gadis yang bersetatus sebagai anaknya. Dia tidak segan-segan menghina dan mengungkap 'kan kebenciannya, pada anaknya sendiri. Begitupun dengan Ibu nya.
Orang tua yang seharusnya mencintai anaknya, membahagian 'kannya, memberi 'kan kasih sayang, memberi 'kan semangat jika anaknya terjatuh dalam titik terendah didalam hidupnya, yang seharusnya menguat 'kan bukan malah memberi 'kan luka. Itu, semua tidak dirasa 'kan oleh Nara. Gadis itu, selalu mengalami kebalikannya, dari kedua orang tuanya sendiri.
Gadis itu, hanya bisa terdiam membisu, menahan tangis, mendengar ucapan yang dilontar 'kan oleh Ayahnya. Matanya sudah memerah menahan emosi, tangannya mengepal dengan kuat.
"Jangan diam saja kamu!" Lagi-lagi ia menerima bentak 'kan, yang dilontar 'kan oleh Ibu nya.
Gadis itu, mendongak menatap Ibu dan Ayahnya. "Lalu? Apa yang harus aku kata 'kan?!" teriak Nara.
Mata Ayah Nara melotot, mendengar ucapan sinis dari anaknya. Tangan lelaki itu, sudah terangkat dan siap untuk mendarat 'kan tamparan pada pipi Nara.
Plak!
"Jaga nada bicara mu, Nara!"
Nara menangis, memegangi pipinya yang terasa panas karena tamparan Ayahnya. Ia bangkit sambil menatap tajam kedua orang tuanya, dan langsung berlari kelantai atas meninggal 'kan kedua orang tuanya.
"Mau kemana kamu?! Ayah belum selesai bicara Nara! Besok kamu pindah Sekola, dan jangan buat Ayah malu lagi! Kamu dengar Nara?!" teriak Ayahnya menatap kepergian Nara.
"Sudahlah Pa, lebih baik kita tidur. Sudah malam," ucap Ibu Nara menenang 'kan sang suami.
Ayah Nara mengangguk, "iya Bu."
Setelah menghembus 'kan nafas kasar dan menatap lantai atas, dimana kamar Nara berada. Kedua orang tua Nara, langsung pergi ke kamar mereka.
Tanpa disadari, ada orang dibalik tembok dapur mengintip perdebatan mereka. Orang itu, adalah pembantu Nara sekaligus yang merawat Nara dari kecil sampai sekarang.
"Kasihan Non Nara," lirihnya.
***
Brug!
Nara membanting pintu dengan keras. Gadis itu, langsung membanting 'kan tubuhnya diatas kasur. Matanya masih mengeluar 'kan air mata, hatinya sakit, sangat sakit! Mengingat kembali apa yang diucap 'kan oleh kedua orang tuanya.
Nara menarik prustasi rambutnya. "Aaaaaaa ... apasalah aku?! Kenapa mereka membenci anaknya sendiri?! Mengapa Tuhan?! Mengapa?! Aku gak milih buat dilahirin dikeluarga ini! Tapi mengapa mengapa aku diuji dengan masalah sebesar ini! Aku benci ... hiks ... hiks ..." teriak Nara prustasi, sesekali terisak.
Lelah? Sakit? Ya, itu, semua Nara rasakan. Luka yang diberi 'kan oleh kedua orang tuanya, sangat membekas dalah hatinya. Lukanya tegores sangat besar, perih ... namun tidak berdarah! Mungkin ... luka ini tidak bisa diobati, tidak akan bisa!
***
"Nara Ayundra, benar?" tanya seorang Guru.
Nara mengangguk, "Benar, Bu."
Ya, pagi ini, Nara sudah berada di ruang Kepala Sekolah, SMA Garuda Jaya. Itu adalah nama sekolah Nara, yang baru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Please Listen to Me
Teen FictionMemiliki sebuah anugerah dari yang maha kuasa, mampu membuat sebagian orang senang dan bahagia. Kenapa? Karena mereka diberikan kelebihan yang tidak dimiliki oleh semua orang. Namun ... bagaimana jika anugerah itu, malah membawa petaka? Membuat kali...