Aku Lucca, aku tau apa arti Lucca sebenarnya. Anak hilang, itu arti yang pernah kubaca di sebuah buku. Tapi aku tidak peduli itu namaku. Oke cukup sampai sini perkenalannya. Kalian tau sebuah permainan yang kini sering sekali dimainkan anak muda. Aku benci permainan itu. ToD. Kalian tau kan?
Segala hal dipermainkan. Termasuk perasaan dan harga diri seseorang.
"Lucca!" Bulu kudukku meremang seketika. Derap langkah seseorang terdengar semakin dekat. Antara kabur dan memberi penjelasan menjadi pilihan sulit bagiku jika langkahnya sudah sedekat ini.
"Lucca, aku tau kau mendengarku" seseorang meletakkan tangannya ke pundakku dan membalik tubuhku paksa. Aku menundukkan wajahku tanpa mau menatapnya.
"Lucca, dengar! Mau sampai kapan kau berlaku seperti ini?" Lelaki di hadapanku menekan setiap kata yang keluar dari mulutnya. Mungkin ia lelah dengan segala sikap tak acuh ku selama ini.
"Lucca..." suaranya melirih bagai orang yang sudah pasrah, "tatap aku!" lanjutnya.
"Apa? Apa yang kau mau jika aku kembali? merubahku seperti kakak? Don't wish" sudah cukup aku terkekang selama ini. Lupakan tentang ambisiku yang telah kukejar sejauh ini. Lupakan, aku tidak akan lebih dari kakak.
Lelaki berkulit putih di hadapanku itu menatapku penuh makna.
" tak ada seorangpung yang memaksamu untuk menjadi Felix, Lucca" kini matanya menyorot tepat ke mataku. Aku tau mata itu mengharap aku untuk mengerti. Tapi, aku tidak pernah tau apa yang ada dibalik tatapan dari mata itu.
" aku mendengar semuanya Zack, berhenti memaksaku pulang. Aku tau kau lelah, pulanglah, kau butuh istirahat"
Suasana puncak yang sunyi memaksa atmosfer di sekitar kami mencadi tegang dan canggung. Tetapi hawa sejuknya menahan mood ku untuk tidak jatuh dan hancur berkeping keeping hanya karena manusia setinggi 180 cm-an yang berdiri tegap tepat di depanku.
"Lucca, matahari hampir tenggelam. Ayo pulang" bujuknya lagi. Tapi, tidak. Bahkan biasanya aku pulang lewat tengah malam. Menunggu papa tertidur jika Zack tak berhasil menemukan ku hari itu. Jadi tenggelamnya matahari tidak akan menjadi masalah buatku.
"Aku tidak akan menceramahimu panjang lebar tentang kaburmu kali ini dan aku tidak akan mempermasalahkannya sama sekali. Tapi kau harus pulang hari ini, sudah 4 hari ini kau pulang lewat tengah malam, kau butuh istirahat lebih ,Lucca" kalimat panjang Zack membuatku sedikit kaget. Ini pertamakalinya Zack berjanji tidak akan menceramahiku panjang lebar dirumah tentang kaburku.
"kau tidak bisa lagi membohongiku, aku sudah dengar semuanya. Baiklah aku pulang"
**********
Mungkin jika seseorang mengenalku maka mereka akan mengatakan 'wah enaknya diperlakukan bagai putri kerajaan' atau 'wah enak ya dia bisa membeli apapun yang dia mau'. Yayaya terserah saja. Tapi sejujurnya diperlakukan seperti itu membuat hidupku tidak bebas. Hei, kau pikir aku ini putri kerajaan sungguhan?
Sejak kecil papa selalu bercita cita untuk menjadi seorang raja yang memimpin sebuah kerajaan tentunya. Lama lama keinginan itu terus membuncah di hati papa. Pada akhirnya papa mendirikan sendiri kerajaanya. Bukan kerajaan sungguhan tentunya. Hanya saja papa mambuat rumah kami –yang lebih mirip kastil dari pada rumah- terasa seperti kerajaan kerajaan di komik komik atau bahkan cerita dongeng. Papa menyewa banyak maid, membuat sendiri singgasananya dan banyak hal lain yang kadang membuatku muak.
Karena semua hal itu berimbas padaku dan Felix, satu satunya kakak kandungku. Papa selalu memaksa kami bertutur kata bak manusia manusia kerajaan yang membuat ku terlihat kaku dihadapan orang luar. Papa juga menyuruh kami belajar setiap saat dan setiap waktu bahkan saat kami terkapar sakit di atas Kasur, padahal umurku saat itu baru memasuki 4 tahun. Papa bilang seorang putri dan seorang pangeran haruslah cerdas dan terampil. Biasanya mama akan mencegah papa berlaku berlebihan terhadapku dan Felix. Tapi kini kami bahkan tidak tau kemana mama pergi. Mama hilang begitu saja.