seven

1 0 0
                                    


 Sesungguhnya aku cukup takut menghadapinya. Tapi mau bagaimana lagi, aku harus menghadapinya. Aku tidak mungkin berbalik dan kabur. Bukan ketentraman yang kudapatkan melainkan omelannya yang lebih panjang.

Tiga langkah lagi. Aku melngkah tiga langkah lagi ke depan. Dengan sekuat tenaga aku mencoba menatap wajah datarnya dan juga mata tajamnya yang solah bisa menghunusku kapan saja. Ya, aku mencoba berani. Hanya mencoba karena sejujurnya kakiku sekarang sudah melemas bahkan mungkin aku bisa saja terjatuh dan bersimpuh kapan saja saking lemasnya.

"Kenapa baru pulang?"suara dinginnya benar benar menghancurkan seluruh dinding keberanian yang baru saja kubangun dengan susah payah.

"Bukan urusanmu,"balasku berusaha menyaingi nada dingin dari pertanyaan yang tadi dilontarkan olehnya. Tapi sepertinya aku telah melakukan sebuah kebodohan karena terlalu gegabah memberi jawaban, Bodoh! jelas saja itu tadi urusannya.

"Ck!"decaknya kesal,"kau seharusnya tau apa sebagai apa posisiku di sisimu. Keamanan dan keadaanmu adalah tanggung jawabku. Sudah wajar jika aku bertanya padamu karena itu adalah urusanku. Sudah wajar jika aku mengantisipasi mu dari hal yang bisa mengancammu. Sudah ku bilang jangan terlalu dekat dengan Ederly, tapi apa sekarang? kenapa kau malah pergi menemuinya ditengah malam dan sendirian?"

Dahiku mengernyit heran. Bagaimana lelaki ini tau jika aku bersama Ederly sejak tadi? dia tidak mungkin menguntitku kan? karena jika iya seharusnya lelaki ini sudah menarikku pulang sejak tadi dan bukannya menungguku di depan pintu kamarku seperti ini.

Mulutku terkatup rapat. Benar benar enggan menjawab pertanyaan pertanyaan yang dilontarkannya. Bukan karena apa apa tapi seluruh pernyataannya tentang tanggung jawabnya itu memang lah fakta. Kan sudah kubilang aku melakukan kebodohan karena yang tadi itu jelas jelas termasuk dalam urusannya.

Ucapannya memanglah sebuah fakta yang cukup membuatku tertampar karena seolah olah aku mengabaikan peringatannya, eh, aku memang mengabaikannya. Tapi ini semua terasa sangat mengesalkan. Entahlah, Apa salah Ederly hingga aku harus menjauhinya? hei dia itu orang yang baik. Hei! sikapnya bahkan lebih ramah dari Zack. Lantas apa yang harus kujadikan alasan hingga aku harus menjauhinya?

"Lucca, kau bahkan membiarkan Ederly mengerti salah satu tempat favoritmu yang selalu kau sembunyikan dari siapapun, apa kau sudah gila?"

Zack menghembuskan nafas kasar di akhir ucapannya seolah ia benar benar sudah muak dengan segala hal yang kulakukan.

Tunggu, apa tadi dia bilang? aku sudah gila? bukankah dia yang gila dengan mempermainkan seluruh kepercayaan penuhku yang telah ku berikan padanya. Oh iya itu tidak gila, tapi kejam.

"Apanya yang gila? Ederly orang yang baik, tidakkah kamu bisa mengerti?"ucapku geram.

Kalimatnya tadi benar benar seolah olah menggambarkan bahwa Ederly mengancam nyawa dan keselamatanku. Seolah olah Ederly menerimaku karena ia telah merencanakan sesuatu yang buruk padaku. Oh tidak bisakkan Zack memberhentikan pikiran buruknya pada Ederly?

Zack tampak mengacak rambut hitamnya frustasi. Matanya memejam beberapa saat. Ekspresinya seperti seseorang yang tengah memikirkan suatu hal yang mungkin cukup rumit baginya.

"Kumohon, jauhi Ederly,"mohonnya setelah drama frustasinya selesai.

"Kau menyuruhku mengerti situasi mu tap-"

"Kumohon kali ini saja, kumohon mengerti, kumohon turuti permintaanku sekali ini saja, jauhi Ederly."suara Zack melembut, wajanya tertunduk seolah menyerah dengan pilihanku.

Ada sebuah nada yang tertangkap dari ucapannya. Suara laki laki itu terdengar benar benar tulus memintaku. Entah kapan terakhir kali aku mendengarnya begitu tulus seperti itu seakan akan tidak ada motif lain dari permintaannya selain untuk kebaikan ku sendiri.

Artificial KingdomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang