Angin malam berhembus pelan menyapu wajahku lembut. Suara bising kendaraan terdengar samar dari tempatku berdiri, atap bangunan tertinggi di kota. Yap salah satu tempat favoritku menghabiskan malam selain puncak gunung atau bukit atau dataran tinggi lainnya. Sebenarnya keriteria tempat favoritku cukup mudah sepi, tinggi dan tenang.
Kulirik kembali jam yang melingkar di tangan kanan ku. Ini sudah keempat kalinya aku memastikan jam melalui jam tangan hitamku tapi dia belum juga datang. Yah, dia , Ederly.
Sudah 30 menit berlalu tapi Ederly tak kunjung datang juga.
Jadi, kali ini aku mengajak Ederly ke tempatku biasa menenangkan diri. Menangkan diri? memangnya aku punya masalah apa? haha.
Oke kembali. Ralat bukan aku yang mengajaknya tapi setelah kemarin aku berhasil mengingkari janjiku dengan lelaki tersebut, tadi siang kami bertemu dan ia mamaksaku mengizinkannya ikut ke salah satu tempat favoritku yah.. dengan bumbu darinya yang berisi aku harus menebus dosaku yang mengingkari janjiku sendiri.
Dan dengan berat hati aku akhirnya mangangguk memberi jawaban baiklah padanya. Seandainya tidak untuk menebus kesalahannya kemarin, aku tidak akan mengizinkannya.
Aku menghebuskan nafas kesal, mengeluh kenapa Ederly sangat suka dengan kata terlambat? ingat pertemuanku dengan Ederly? bukankah itu juga disebabkan oleh keterlambatan?
"Maaf aku terlambat."
Sebuah suara menyapa kedua telingaku. Membuatku buru buru membalikkan tubuhku menghadap sang empu suara, "Aku sempat salah gedung tadi."Ederly menampilkan cengiran polos tanpa dosanya. Sedangkan aku memutar bola mata malas mendengar alasan keterlambatannya kali ini.
"Kupikir sandi yang kutulis kali ini cukup mudah,"ucapku seraya membalikkan tubuhku kembali dan melangkah menuju pinggir gedung,"bahkan ia lebih mirip dengan peta daripada sandi atau kode yang harus di pecahkan."
"Ya, ya, ya aku memang terlalu bodoh untuk memahami sesuatu hal yang seperti itu."
**********
Lelaki jangkung itu mengeram kesal selepas menatap pesan dari seseorang di layar ponselnya. Ia memijit pelan pangkal hidungnya guna mengurangi pusing yang mendera kepalanya dikarenakan banyaknya pikiran.
Banyak sekali hal yang memenuhi otaknya malam ini.
Ia menatap jam digital merah yang melingkari pergelangannya. 11.30 malam. Dahinya mengerut. Langkah kakinya berjalan mondar mandir di depan sebuah pintu besar yang megah. Ia gelisah. Sosok yang ia tunggu tak kunjung pulang meski jarum jam sudah menunjukkan hampir tengah malam.
Lelaki itu berusaha terlihat tenang sebaik mungkin. Meskipun berbagai asumsi buruk terus menghantui pikirannya. Beban pikirannya semakin bertumpuk lagi dan lagi. Semuanya tentang asumsi buruk yang akan dilakukan seseorang.
Dan kenapa harus dia? dia lagi dan dia lagi?
Kenapa harus Ederly, Ederly lagi, Ederly lagi?
**********
Aku melirik Ederly yang masih berdiri sambil menatap ngeri kedua kakinya yang berada di pinggir atap gedung. Ia menatapku, menggeleng pelan dan meringis takut.
"Kenapa? kau bisa duduk di sini,"ucapku sambil menepuk nepuk ruang kosong di sampingku. Bermaksud menyuruhnya duduk tetapi ia malah menggeleng lagi dan memilih menaruh tubuhnya satu langkah di belakangku.
"Tidak perlu, terima kasih, melihat kakimu yang menjuntai saja membuat nyawaku rasanya tinggal setengah,"kata Ederly dengan telunjuknya yang mengarah ke kedua kakiku yeng menggantung ke bawah di pinggir atap.