"Kamu tidak pulang, Raz?"
"Tidak bisa pulang." Raza masih terus menatap ke arah persegi yang bercahaya itu.
"Walaupun kamu ingin?"
Raza diam saja, merasa pertanyaan itu tidak perlu dijawab. Siapa yang tidak ingin pulang? Pikirnya.
"Aku tunggu, ya?"
"Tidak perlu, kamu duluan saja. Masih banyak hal yang harus diselesaikan."
"Kamu melakukan kesalahan, Raz?"
"Ya, dan harus diselesaikan. Aku mengacaukan semuanya."
"Kamu tahu, Raz?"
"Apa?"
"Terkadang, ada beberapa hal yang memang harus dibiarkan kacau."
"Kalau begitu, tidak akan selesai."
"Apa jadi masalah kalau tidak selesai?"
"Pikir saja sendiri." Raza masih saja menatap layar yang tidak ada menariknya.
"Tidak lelah, Raz?"
"Kamu membuat lelah ku bertambah dengan pertanyaanmu."
"Setidaknya kamu punya teman."
"Aku tidak butuh teman."
"Lelah mu kelihatan membutuhkan nya."
"Terserah."
Raza akhirnya menutup benda persegi bercahaya itu, membuat Havan menghembuskan nafas, lega.
"Kenapa kamu begitu tertarik dengan benda itu? Apa benda itu lebih menyenangkan daripada aku?"
"Kamu tidak perlu tahu."
Berjalan beriringan membuat Raza risih, dia lebih suka sendirian. Entah sejak kapan, lelaki bernama Havan ini menghancurkan hal yang menjadi hobi nya untuk berjalan sendirian.
"Sampai kapan?" Raza berhenti.
"Apa nya?"
"Sampai kapan akan terus mengganggu ku?"
"Sampai kehadiran ku tidak mengganggu mu."
"Kalau begitu, kamu akan terus berada disini?"
Havan tidak menjawab, hanya melihat wajah Raza dengan intens.
"Aku boleh jadi teman mu, Raz?"
"Raz, apa kamu pernah menangis di depan banyak orang?"
"Raz, kamu pernah lihat pelangi?"
"Raz, nanti pemakaman mu mau dimana?"
"Raz, apa terlihat sedih adalah keahlian mu?"
"Maksud nya?"
Rupanya, dari sekian pertanyaan yang Havan lontarkan, hanya satu ini yang menarik perhatian Raza.
"Aku tidak pernah melihat mu senang, Raz."
"Kamu juga tidak harus melihat ku senang."
"Harus, aku harus melihat mu senang. Dengan begitu, aku akan tenang."
