Sore ini ramai, tidak seperti sore sebelumnya. Semua orang sibuk memerintah untuk memberi jalan, berisik. Bunyi sirene terdengar, menjadi pusat perhatian.Raza menatap keramaian itu dengan ekspresi yang tidak tertebak. Antara sedih, atau juga meremehkan? Entahlah, Raza memang selalu tidak bisa ditebak.
"Lihat, orang didalam sana sudah meninggal. Kenapa harus buru-buru? Dia sudah selesai kan? Toh, perjalanan terakhir hanya perlu dikubur, tidak perlu mengejar apapun."
Lagi-lagi, Havan tidak menemukan jawaban untuk itu. Pertanyaan kali ini sulit, sudah diluar kepala Havan.
"Orang-orang ini, apa sepeduli ini ketika yang meninggal masih hidup?" Tanya Raza lagi.
Oh? Raza hari ini banyak bicara, Havan senang.
"Menurutmu, bagaimana Raz?"
"Kamu tahu, mereka hanya peduli ketika kamu mengalami hal yang sulit."
"Maksudmu?"
"Menurutmu mengapa banyak orang melakukan hal yang bisa menyakiti mereka?"
"Mengapa?"
"Karena minimnya perhatian yang tertuju untuk mereka."
"Apa kamu melakukan hal seperti itu, Raz?"
"Untuk apa? Toh, perhatian bukan segalanya untukku."
Havan tersenyum, apa selama ini aku salah memberi?
Raza kembali memperhatikan dua anak kecil yang saling menukar tawa melihat kucing yang bertengkar.
Lagi-lagi, ekspresi yang tak bisa Havan tebak.
"Apa mereka benar-benar bahagia?"
Sungguh, Raza tidak terasa seperti Raza.
"Apa senyum itu terlihat palsu untukmu, Raz?"
"Menurutmu sendiri bagaimana? Bukankah senyum adalah hal yang paling mudah untuk dipalsukan?"
"Maksudku, kau bisa dengan mudah mengeluarkan senyum bahkan disaat kau tidak mau. Benar?" Lanjutnya lagi.
"Ya, benar."
"Apa kamu terbiasa melakukan itu, Raz?"
"Kadang. Tapi tidak, aku tidak mau orang terus menganggapku baik-baik saja."
"Ya, harusnya memang begitu, Raz."
"Kamu hari ini banyak bicara, ada hal yang membuatmu senang?" Tanya Havan.
"Itu pamanku."
"Maksudmu?"
"Yang tadi diantar ambulans, itu Paman."
Apa banyak bicara mu berarti luka, Raz?