1. Sunday

14 3 3
                                    

"Eugh..."

Jena menggeliat. Matanya mengerjab pelan, mencoba melihat sekeliling dan menebak-nebak jam berapa sekarang. Ia menggulingkan tubuhnya ke sisi nakas sebelah kiri.

Meraih ponsel, membuka aplikasi chatting.

Empty

Jena menghela nafas, beranjak duduk kemudian mengacak rambutnya pelan. Beginilah nasib jomblo, pagi-pagi bukannya mendapat chat manis sebagai pembuka, malah ruang kosong yang tertera.

Dengan malas Jena beranjak dari kasur, sedikit merapihkannya dan bergegas menuju kamar mandi. Mandi sepertinya akan menambah sedikit energi.

*****

"Loh? Ian?" Mata Jena berkedip-kedip cepat saat mendapati tetangga apart-nya sedang berkutat sibuk didapur miliknya.

"Hm?" Hanya deheman singkat yang menjadi jawaban kebingungan Jena.

Jena yang baru keluar dari kamar cukup terkejut dengan kehadiran "tetangganya" itu. Okey, kuberi tanda kutip.

Jena melangkah mendekat, duduk di kursi meja makan. Memperhatikan Ian yang sedang sibuk entah memasak apa.

"Ngapain lo disini?"

Ian hanya mengangkat kedua bahunya acuh. Sebenarnya oknum yang dipanggil Ian ini adalah sahabat Jena sedari kecil.

Rianata Dewanta.

Ya, pria yang terbilang cukup tampan dan berkepribadian dingin. Uhm, bagaimana menyebutnya? Kulkas? Beruang kutub? Entah, sifat dingin dan irit bicaranya sudah tak tertolong.

Hanya dengan orang-orang terdekat, Ian menjadi santai dan terbuka.

Tak

Dua piring nasi goreng diletakkan di meja makan. Asapnya masih mengepul. Jena terpukau.

"Makan" titah Ian tajam.

Jena mengerucutkan bibir kesal, namun tangannya tetap mengambil sepiring nasi goreng dengan mata berbinar.

"Ini enak! Terimakasih." Ucap Jena setelah menelan sesuap.

"Hm" Ian juga beranjak duduk setelah meletakkan dua gelas teh hangat diatas meja, menikmati sarapannya.

Oopsie, apakah bisa disebut sarapan saat jam sudah menunjukkan pukul 11 siang?

****

Jena yang saat ini sedang berguling-guling ria di sofa ruang tv tiba-tiba tertarik memperhatikan Ian yang sedang duduk disampingnya.

Setelah 'sarapan' tadi, mereka memang memutuskan untuk menonton. Mengisi waktu luang di hari minggu.

Jena bergumam, menyadari bahwa sahabatnya telah tumbuh menjadi pria dewasa dengan cepat. Semakin tampan, tinggi dan mempesona.

"Haish, apa-apaan!" Kesalnya tiba-tiba.

Ian menoleh, mengernyit heran saat mendapati Jena bergumam aneh sembari mengernyit.

"Lo kenapa?" Tanya Ian.

Jena kaget, menoleh dan mendapati Ian menatap heran padanya. Tiba-tiba Jena mendesis kesal. Tangannya teracung menunjuk Ian.

"Lo ngapain dandan keren-keren? Mau kencan? Jangan cakep-cakep dong! Lagian, lo mana punya pacar?! Lo tu ya, harus jomblo nemenin gue!"

Ian memicingkan matanya, "Lo sarap? Gue b aja kali."

Jena melotot tak percaya.

Cih, b aja katanya?

Enggak!

Ian hari ini gatau kenapa ganteng banget! Jena mau nangis aja kan rasanya, takut baper.

"Gue pengen jajan." Celetuk Jena mencoba mengalihkan fokusnya.

Ian segera beranjak, mengulurkan tangan kearah Jena yang disambut dengan kernyitan bingung.

"Ung? Ngapain?"

Ian mendengus sebal "Lo kata mau jajan! Ayok, gue beliin. Kita ke market."

Seketika wajah Jena sumringah, dengan cepat ia menyambut uluran tangan Ian. Menggenggam lengannya.

"Yeay!" Soraknya senang.

Ian terkekeh kecil. Tangannya terulur mengusak rambut Jena gemas.

"Manis." Ucap Ian pelan.

Jena.

Dengar.

Jena mendengarnya.

Seketika wajahnya memerah.

Ya tuhan, gimana gak mau baper kalo orangnya seperti Ian?

Boyfriend-able banget ga sih?

*****

Tertanggal, 9 Januari 2021

Jadi, visual Ian tu aku ambil dari salah satu bujang kesayangan. Wajahnya cocok banget kalo jadi visual Ian nya, sementara buat Jena asbtrak aja sih.

Bonus pict - Ian ootd sunday (simple banget cuman pake jeans sama kaos putih tapi udah ganteng!)

EXTRAORDINARY YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang