Chapter 16

3K 605 6
                                    

Primrose Holden

Entah kenapa rasanya kesal. Emosiku mendadak naik turun tidak lama setelah Henry pergi dengan alasan ‘ada yang harus diurus’ dan membatalkan rencana yang diniatkan pria itu sendiri.

Dia yang memancing. Setelah tertangkap malah dibuang kembali ke laut. Menjengkelkan sekali! Aku terpaksa menenangkan emosiku dengan berendam di air hangat. Menikmati aroma terapi sambil berusaha untuk tidak menggerutu sepanjang menit.

Rupanya aku ketiduran karena detik berikutnya terkejut mendengar suara pintu dibanting. Ryan?

“Hai, Sayang. Boleh aku bergabung?” Senyum terkembang, tangan lihai melepas pakaian.

“Tidak biasanya kau pulang cepat.” Jawabanku mungkin terdengar datar, namun berhasil membuatnya menghilangkan keceriaan yang tadi diperlihatkannya padaku.

“Jangan memulai pertengkaran. Kuupayakan berbaikan denganmu.”

“Tidak perlu. Tidak perlu berbaikan. Kita begini saja.” Memalingkan wajahku ketika dia mulai masuk ke tempat yang sama denganku. Enggan melihat kejantanan Ryan yang tegang, tapi menyembur cairannya ke rahim wanita lain. Benar-benar berengsek!

Jarak berseberangan ini menghadirkan kecanggungan dan rasa tidak nyaman. Sejujurnya, aku terlalu sakit hati dengan pengkhianatan yang telah Ryan berikan untukku.

Tidak pernah. Tidak pernah selama ini kudapatkan sikap Ryan yang membuatku merasa sangat terasingkan, sendirian. Jangankan begitu, terpikir akan dikhianati olehnya pun sama sekali tidak terlintas di benakku.

“Aku masih suamimu, sebenci apa pun kau terhadapku. Jadi jangan bersikap seolah aku ini manusia menjijikkan, Prim.”

Alih-alih menatapnya, aku tetap seperti semula. Mataku bergerak ke segala arah, tapi tidak sekalipun sudi menatapnya.

“Kau memang menjijikkan. Ada istri yang bisa kau tiduri kapan pun kau mau, malah memilih bercinta sembunyi-sembunyi dengan istri orang.”

“Hentikan, Prim. Tidak perlu kita bicarakan ini lagi.”

“Karena kau tidak berada di posisiku. Tidak pernah tahu seperti apa rasanya dikhianati.” Tidak kuakui padanya bahwa wanita yang ditidurinya itu lebih cantik dan seksi dariku. Aku harus bertahan dengan satu-satunya kepercayaan diri yang kupunya.

Kudengar bunyi kecipak air dari arah Ryan. “Itulah kenapa aku tidak memintamu memaafkanku. Bahkan kuberikan kau kesempatan untuk berbuat sesukamu. Aku masih sangat mencintaimu, Prim. Tidak ada yang berubah, kecuali keinginanku yang ingin memiliki anak dari wanita lain.

“Kau lupa apa kata dokter tentang dirimu? Kita sudah menjalani tes kesuburan yang kau takuti itu. Dokter telah mewanti-wantimu. Kau masih bersikeras bahwa dirimu baik-baik saja? Tetap berpikir akulah yang sepenuhnya bersalah di sini? Tidak pernahkah sekalipun kau menduga kalau aku sembunyi-sembunyi bercinta dengan wanita lain agar tidak menyakiti perasaanmu?”

Terdiamlah aku dibuatnya. Memang tidak sepenuhnya benar. Hal yang paling pasti adalah perkataan dokter tentang keadaanku. Kesulitan yang memang belum pasti, tapi selalu ada kemungkinan ketidakberhasilan yang kudapat meski telah berusaha keras.

“Memangnya dia siapa? Cuma seorang dokter yang memprediksi. Beruntung bila benar, namun selalu saja bisa salah. Itu hanya pembenaran untukmu. Kau menyukai rekan seks-mu bukan semata-mata karena menginginkan anak darinya. Tidak pernah bisa kuduga mengenai apa maumu yang sebenarnya, sebab pengkhianatanmu pun sungguh tidak pernah tertebak olehku yang sangat mempercayaimu.” Berdiri tanpa ragu-ragu, aku keluar dari bak mandi. Menjauhi dan mengabaikan manusia sampah sepertinya memang lebih baik kulakukan mulai sekarang.

Kepercayaanku padanya sudah hancur. Berantakan kepingannya menjadi serpihan.

“Aku salah, aku tahu. Kita sudah berada dalam hubungan yang tidak sehat dan akulah yang menyebabkannya. Yang harus kau ketahui, aku tidak berniat menceraikanmu.” Suara air menandakan dia ikut keluar dari bathtub.

Sebelum dia menghampiriku, kubalut tubuh dengan jubah mandi. Tiba-tiba saja teringat Henry dan percintaan kami kemarin. Membuatku—sialnya, entah kenapa merasa bersalah, sekaligus menang.

“Tidak perlu bercerai. Kau hanya perlu merasakan perasaan sakit yang sudah kudapatkan darimu—lepaskan aku!” Berontak, aku didesak ke pintu yang niatnya kubuka, dalam posisi memunggungi Ryan. Kejantanannya sedang menegang menusuk punggungku. Merasa jijik mengingat bahwa dia telah menyentak masuk ke lubang wanita lain, membuatku meronta-ronta.

“Kau sendiri pun setuju untuk tidak bercerai. Jadi itu artinya, semua kewajiban kita sebagai suami istri tetap berjalan seperti biasanya. Tidak ada yang berubah. Termasuk ketika aku menginginkanmu, Sayang.”

Dalam gerakan yang meronta-ronta, Ryan begitu kasar menyingkap bagian bawah jubah mandiku dan meraba-raba kewanitaanku dari belakang sana. Aku menjerit, berusaha tidak mendesah.

“Jangan, Ryan. Jangan masuki aku.”



𝐄𝐧𝐦𝐞𝐬𝐡𝐞𝐝Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang