Chapter 9

4.5K 764 5
                                    

Henry Griffin

“Aku bisa sendiri.” Prim mengambil antingnya dari telapak tanganku. Jelas terbaca bagaimana kegusaran dan rasa cemas di wajahnya. Dia masih memikirkan perasaan Ryan. Takut kakakku itu berburuk sangka padanya. Dia akan menyesal karena hal itu nanti, pasti.

Mengingat bahwa Prim sempat mengatakan, lebih ke ‘menegaskan’ padaku bahwa hanya ada satu cinta dalam hidupnya, aku pun refleks bersumpah dalam hati ‘Akan kubuat kau tergila-gila padaku’ tanpa ragu-ragu.

“Sampai nanti, Prim.” Dengan senyum ramah aku melambai dan melangkah pergi. Tekadku sudah penuh di dalam hati.

Jika selama aku menumpang tinggal di sini dia pasti sudah menilai buruk tentang diriku, maka sekaranglah saatnya kuubah cara pandang Prim terhadapku. Tunggu saja, Prim! Nanti, kau harus melihat betapa luar biasanya aku sebagai adik ipar sekaligus pria yang pasti menarik hatimu. Aku janji!

Aku keluar rumah memang untuk memeriksa cabang toko milikku di pusat kota, sekaligus bertemu Rudi. Sahabatku itu bersikeras lagi bertemu denganku setelah lamarannya diterima. Tidak bosan-bosannya menemuiku di sini padahal jaraknya cukup jauh. Pulang pergi yang bukan masalah bagi seseorang yang sedang kasmaran.

Seperempat toko sudah terisi. Akan lebih baik jika dalam dua minggu semua selesai dan tempat ini bisa beroperasi dengan lancar sesuai rencana awal.

“Hen!”

Saat berbalik karena mendengar suara Rudi, aku mengernyit tak jadi tersenyum. Isla di sisi Rudi terlihat memasang wajah genit. Membuatku mual dan menyesal pernah bercinta dengan pengkhianat seperti dirinya. Sayangnya, Rudi sudah jatuh sejatuh-jatuhnya. Sulit menariknya kembali pada kenyataan.

“Isla ingin berterima kasih padamu soal bunga-bunganya.”

“Itu idemu, juga uangmu. Kenapa berterima kasih padaku?” Aku protes pada Rudi. Mengabaikan tatapan lekat Isla terhadap tubuhku.

Rudi menatap Isla sambil tersenyum. “Katakan pada Henry, Sayang.”

Isla tersenyum manis yang baru kusadari sekarang bahwa dia memiliki dua lesung pipi. “Ada kartu ucapan di setiap tangkai bunganya. Di sana tertulis berbagai kalimat motivasi dan romantis.”

Oh, itu ....

“Kakak iparmu yang meletakkan setiap kartu ucapan di sana. Itu pasti kau yang memintanya, ‘kan?”

“Tidak, Rudi. Aku tidak meminta apa pun pada kakak iparku. Sepertinya itu memang salah satu bentuk pelayanannya terhadap pelanggan.” Aku menatap Isla yang terlalu percaya diri bahwa aku bersedia susah payah menarik hatinya, meski itu untuk Rudi.

“Oh, begitu. Pantas saja aku sempat ragu. Kau tidak mungkin seromantis itu,” kata Rudi dengan terbahak.

Benar. Aku bukan pria romantis. Seks lebih penting dari sekadar sikap memuja lawan jenis. Bagiku, definisinya seperti itu.

“Padahal aku menerima lamaran Rudi, karena tersentuh saat membaca kalimat-kalimat yang tertulis di setiap tangkai bunga yang kuterima.” Isla menatapku penuh arti.

Entah apa tujuannya, aku sungguh menyesal pernah menidurinya dua—apa tiga kali? Serius, aku tidak ingat. Perasaan jijik yang membuatku ingin mual. Biasanya aku tidak pernah seperti ini dengan wanita mana pun.

Mungkin karena dia berhubungan langsung dengan orang terdekatku, sahabatku. Tidak seperti mantan kekasihku yang sudah-sudah. Ketika hubungan selesai, segalanya pun putus begitu saja.

Isla berbeda. Meski muak sekalipun, aku akan terus berinteraksi dengannya, sebab dia siap dan segera menikahi sahabatku.

“Akan kusampaikan rasa terima kasihmu padanya nanti.” Untuk memutus pembicaraan ini, aku berniat—

Suara mengejutkan tiba-tiba terdengar. Mirip sebuah hantaman keras. Dari sini, tokoku keseluruhannya berdinding kaca, kulihat sebuah mobil tiba-tiba menabrak tiang lampu hias rendah di luar sana. Segera, aku dan bahkan semua yang ada di sekitarku bergegas keluar untuk melihat lebih dekat apa yang terjadi.

Seorang wanita keluar dari mobil dengan sempoyongan. Dia mengenakan kaos kumal antara krem atau putih, celana denim yang warnanya memudar, serta sebelah kaki yang telanjang sementara yang satunya masih terbungkus oleh sepatu. Apa dia mabuk? Terlihat begitu muda dan pucat. Rambut hitam sebahunya berantakan.

Dia mengatakan pada semua orang bahwa dirinya baik-baik saja, tapi hampir jatuh jika Isla tidak memegangi lengannya.

“Boleh kubawa dia ke dalam?” Pertanyaan Isla membuatku terpaksa mengangguk. Perempuan yang dipegangi oleh Isla malah tidak fokus karena pandangannya ke sana kemari. Benar-benar seperti orang mabuk. Namun saat Isla membawanya melewatiku, tidak tercium aroma alkohol sama sekali.

Bukan mabuk, lalu apa?

Rudi memberitahuku kalau pemilik toko sebelah telah menghubungi polisi. Dia juga menjelaskan bahwa sudah saatnya dia dan calon istrinya pergi karena mereka harus mengurus beberapa hal tentang pernikahan.

Terpaksalah kubiarkan wanita itu berbaring di sofa ruang kerjaku. Tubuhnya kurus, tapi tidak terlalu tinggi. Dia benar-benar lusuh untuk ukuran seorang pengemudi mobil mewah.

Aku tidak mau berurusan dengan polisi, sehingga beberapa karyawan toko telah lebih dulu memberi kesaksian mereka tanpa melibatkanku. Dengan memberitahu bahwa pengemudi sedang diantarkan ke rumah sakit.

Wanita ini sepertinya harus dipaksa bangun atau aku yang akan kesulitan nantinya karena ikut terseret dengan memberi keterangan palsu. Atau tuduhan lainnya yang bisa memberatkanku.

Menurut yang sudah kupastikan, walau tidak menyentuhnya sama sekali, fisiknya tampak baik-baik saja. Tidak ada luka atau memar. Benar-benar mulus.

Sekarang sudah ada gelas dalam genggaman. Berisi air tidak penuh. Tidak berniat kusiramkan semua, hanya memercikkan sedikit air. Ah, kacau! Dia tidak terbangun juga. Terganggu saja tidak. Apa yang kuharapkan?

Kucipratkan kali kedua air dari kelima jari-jariku. Kernyitan di kening dan kepala yang bergerak.

“Ibuu!” Dia menjerit histeris, melompat dari posisinya yang entah kapan bangkitnya, tiba-tiba sudah terduduk di lantai. “Tolong aku, Bu! Tolong!” Menutup kedua telinga, bergantian memeluk lutut.

Aku canggung dibuatnya, karena sikap spontanitasnya di luar prediksiku. Memang wajar dia seterkejut itu, namun rasanya aku tidak siap menerima kepanikannya yang tiba-tiba.

Aku menatapnya, dia pun begitu. Perlahan saat aku ingin bicara—

“Maaf ... aku minta maaf.” Suaranya berubah formal. Dia menjadi secanggung diriku.

“Kau tidak baik-baik saja.” Aku berlutut di sisinya, selagi dia mundur sampai terjebak tepian sofa. “Kau kenapa? Aku tidak berniat menyakitimu.”

“A-aku tahu. Aku tahu kau tidak akan menyakitiku. Hanya ... sulit—maksudku, aku sedang kesulitan.” Dia tergagap, bahkan gemetar.

“Apa kau butuh sesuatu?” Mungkin dia lapar. Gemetarnya tidak biasa. “Mau minum atau makan sesuatu?”

“Segelas air saja.” Dia mengangguk, menghindari bertatap mata denganku. Menatap kedua lututnya yang masih tertekuk.

Buru-buru kupanggilkan salah satu karyawanku dan memintanya membawakan segelas air. Sambil menunggu, kulirik wanita itu. Dia mulai bangkit dari tempatnya. Memilih duduk di sofa dalam kecanggungan.

“Bos, apa perlu kupesankan sarapan untukmu?” Itu pertanyaan karyawanku yang mengantarkan segelas air.

“Tidak. Nanti saja. Pesankan taksi sekarang.”

“Kau mau pergi ke mana, Bos? Ada pertemuan—”

“Rumah sakit. Perempuan itu sekarat.”









𝐄𝐧𝐦𝐞𝐬𝐡𝐞𝐝Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang