Chapter 8

4.7K 760 8
                                    

Primrose Holden

Tangisanku berhenti. Isakannya belum. Cenderung bertahan dan membuat malu. Ah, sudahlah. Henry terlanjur mengetahui beberapa kelemahanku. Tidak perlu kusebutkan, kalian pasti tahu.

Sekarang aku sedang menyerut ingus. Dibantu Henry dengan membiarkan kaosnya jadi sasaran. Kan ... dia kembali mendapatkan sisi memalukan tanpa harga diri yang tersisa dari diriku. Sebelumnya juga begitu.

“Ingusku ....” Kesusahan aku menahan agar cairan bening yang mengalir dari hidung tidak mengalir lagi, tapi Henry sigap mengangkat tepi kaosnya untuk dijadikan lap sehingga memperlihatkan perut ratanya yang aduhai—ehem, tidak. Bukan begitu maksudku.

“Sudah.” Dia menurunkan kaosnya, tersenyum padaku sekilas. “Boleh kupeluk lagi?”

“Kau butuh izin juga rupanya,” sindirku sambil menyerut habis sisa ingus.

“Berarti boleh.” Henry langsung memeluk. Hangat, meski dadanya tidak tepat jika dikatakan bidang, namun tetap terasa nyaman.

“Aku tidak melihat kau menguap.” Tadi rasanya tidak canggung. Yang kali ini sedikit ....

“Sekarang aku sedang menguap di balik punggungmu,” balasnya sambil tertawa.

“Mana, mana? Aku tidak—oh!” Eh! Karena terlalu ingin melihat dia berbohong atau tidak, wajah kami menjadi sangat dekat sebab gerakan yang bersamaan terjadi di antara kami. “Mundur sedikit, Henry.”

“Tidak.” Dia bertahan. Memelukku erat, membiarkan jarak kami yang cukup dekat satu sama lain. Saling tatap. Napas kami bergantian terembus menerpa kulit wajah.

“Henry, jangan begini.” Aku mencoba mundur, dia makin maju.

“Kau ingin meneriakiku lagi?” Dia tersenyum manis.

Oh, aku baru tahu kalau dia setampan—ah, tidak. Bukan begitu maksudku. “Untuk malam ini tidak. Karena kau telah merawat dan menghiburku, aku akan memaafkan kelakuan tidak sopanmu ini, Adik ipar.”

Dia terbahak. Semakin dilihat—ehem ehem! Tidak, tidak! Ini efek dari keinginan membalas rasa kesalku pada Ryan sehingga timbul perasaan-perasaan aneh yang aku sendiri malu mengakuinya.

Mana mungkin. Ini cuma penghiburan. Jika Ryan bisa berduaan dengan wanita lain, kenapa aku tidak? Lagipula, pria lain yang bersamaku saat ini adalah adik iparku. Setahuku, Ryan tidak pernah memiliki kecemburuan apa pun terhadap adiknya.

Aku ... aku hanya ingin tahu seperti apa rasanya mendapatkan sentuhan dari pria lain. Selayaknya Ryan yang pasti ... pasti lebih dari sekadar—

“Kalau begitu, beri aku hadiah.”

“Hadiah?” Aku terkejut. Sedari tadi rupanya diperhatikan.

“Yap.”

“Kalau begitu katakan.” Jantungku berdebar. Bukan, bukan karena tatapan Henry, tapi emm, tapi ... apa kalau bukan itu?

“Cium aku.”

Mataku berkedip-kedip dan mulutku menganga. Kenapa harus seterkejut itu? Apa aku kecewa? Yang dia minta cuma itu?

“Tidak boleh, ya? Atau cium kening—”

Aku sudah mencium bibir Henry. Sekilas tentunya. Malah ekspresi adik iparku ini menggemaskan sekali kala matanya mengerjap.

“Curang,” protesnya. Kupikir dia akan merengek seperti bocah kecil, rupanya malah mencium bibirku dengan gerakan lambat dan lembut.

Ah, aku ... ini ... hmm, tunggu! Kudorong Henry sambil mengusap pelan bibirku. “Henry ... a-aku—”

“Ini akan jadi rahasia kita, kalau kau meragukanku. Bukan cuma dia yang bisa bermain di belakangmu. Kau sendiri paham soal itu, Prim.”

Masih kucerna sedikit demi sedikit ... sampai satu kalimat yang nyaris tidak terpikirkan keluar dari mulutku. “Hanya ada satu cinta dalam hidupku.”

Uups! Apa yang telah kukatakan? Aku berucap seolah-olah Henry sedang mengajakku berselingkuh. Menegaskan padanya bahwa aku tidak akan tergoda, tapi bersedia menciumnya lebih dulu sebagai hadiah.

“Aku mengerti, Prim. Maksudku, kau bisa bersikap seolah tidak pernah terjadi apa pun setelah kau beranjak pergi dari kamar ini besok pagi,” jelasnya.

Ah, begitu. Benar juga. Akan sangat tidak nyaman jika sampai apa yang telah terjadi malam ini dibicarakan lagi esok hari. Setidaknya, Henry tidak mau kami menjadi canggung satu sama lain.

“Cuma penghiburan, Prim. Kau tahu maksudku, ‘kan?”

“Belum tentu ....” Apa? Belum tentu Ryan selingkuh, begitu?

“Hmm ... memang ada kemungkinan dia tidak bermain di belakangmu. Namun di dalam hatimu, kau lebih tahu soal itu, Prim.” Henry tersenyum, seolah memaklumi. Entah benar atau tidak, tidak harus langsung dipercaya.

Dia Henry, yang sehari lalu—bukan, bahkan baru beberapa jam lalu masihlah kuanggap si bocah setan! Mana boleh aku terbujuk oleh segala omongan manisnya yang berujung pahit. Bisa saja dia cuma menjebakku, lalu mempermalukan dan mengadukanku pada kakaknya besok. Mengungkap apa yang telah terjadi malam ini. Niatku memberinya hadiah karena telah menghiburku, malah berbuntut kesialan nantinya, jika aku tidak berhati-hati.

Sejauh ini yang kulihat, justru tingkah Henry tidak lebih baik dari Ryan. Kalau pada Henry aku menangkap basah secara langsung bagaimana dia telanjang dengan seorang wanita di dalam kamar pagi tadi, namun tidak begitu pada Ryan yang cuma kudengar suara wanita mendesah di satu udara seberang dari panggilan telepon yang berlangsung. Aku ... aku tidak boleh gegabah.

“Kurasa, aku terlalu terbawa perasaan cemburu. Aku yakin kakakmu tidak mungkin berbuat curang di belakangku.”

Henry sudah tertawa, bahkan sebelum kalimatku selesai. Dia cuma mengangkat kedua pundak seakan menertawai pilihanku yang mempercayai kakaknya sampai detik ini.

Biar saja. Tertawalah sepuasmu. Kita tidak punya bukti, Henry. Sekarang saatnya bangun dari jerat ranjang dan pemiliknya, sebelum aku menginginkan hal lain yang tidak bisa kuatasi akibatnya nanti. “Lepaskan, Henry. Aku harus kembali ke kamarku.”

Henry mengangkat kedua tangan ke udara, lepas dari tubuhku. Dia cengar cengir yang membuatku makin kesal dan menyesal setiap mengingat momen berduaan di ranjangnya tadi.

“Sampai besok, Kakak ipar.”

Aku menoleh untuk melihatnya. Ragu-ragu membuka pintu, karena rasanya Henry seperti merencanakan sesuatu yang bahkan tidak bisa kutebak.

Paginya, aku menguap karena semalam sekembaliku dari kamar Henry, mataku sama sekali tidak bisa terpejam. Segala perasaan was-was menghantuiku. Gila sekali pemikiranku yang berhalusinasi kalau Henry mendatangiku di kamar, lalu memperkosaku dan ... dan aku menikmatinya. Hoo ... aku sudah gila!

“Sayang?”

Ryan! Segera kutinggalkan begitu saja salad sayur yang sedang kusiapkan untuk sarapan pagi ini. Cepat kusambut Ryan yang rupanya sudah sampai di ruang tengah.

“Kau pasti punya alasan kenapa pulang pagi,” kataku, pura-pura manis.

Ryan tertawa. Tidak terlihat merasa bersalah sama sekali padaku. Tentu saja begitu. Dia mengira sudah menang karena aku tidak memiliki bukti apa pun tentang ‘perselingkuhan’-nya.

“Kau lebih menakutkan bila tidak marah-marah karena aku yang pulang pagi.” Dia bergerak menuju ke kamar kami. Santai sekali, seperti biasa.

Kususul Ryan ke kamar. Sekilas melihat pintu kamar Henry terbuka dan pria itu keluar dari sana dengan tampilan segar, tampan—ehem, ehem. Sudah, sudah. Tidak perlu bersikap norak. Biasanya juga aku tidak pernah memperhatikan si bocah se—si adik ipar maksudku.

“Prim!”

“Ya?” Aku langsung berhenti saat Henry memanggilku. Entah kenapa. Spontan saja.

Dia tiba di depanku dengan senyum khasnya itu, lalu menyodorkan telapak tangan—mampus! Itu antingku!

“Tertinggal di atas kasurku. Mau kubantu memasangkannya kembali?”










𝐄𝐧𝐦𝐞𝐬𝐡𝐞𝐝Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang