Keluarga Pengabdi

12 1 0
                                    

Pagi itu, aku menunggang sepeda motorku menuju rumah Kinasih. Di sebuah desa di pinggiran Gunung Kidul. Sebuah kabupaten yang begitu disegani karena kemewahan pantainya, masih ada orang-orang yang berjuang dalam kegelapan. Padahal Tuhan memberikan anugerah yang begitu luas pada laut dan pantai. Sayang, hanya orang-orang kaya yang benar-benar mendapatkan berkahnya.

Sedang Kinasih, perempuan berparas sayu ini, harus berjuang dalam kubangan lumpur Yogyakarta. Aku hanya segan melihat realita semesta yang tak seindah FTV.

*
*
*

" Ini rumahku, Mas. Maaf jika kotor." Kinasih bergegas memasuki rumah memanggil kedua orang tuanya.

" Kinasih, bagaimana kamu bisa hidup dengan kondisi seperti ini ? Sedangkan kamu adalah seorang calon dokter." Tanyaku heran ketika melihat seorang dokter yang memiliki rumah bertembok papan. Sebuah rumah yang aku sendiri tidak pernah yakin, ini ada di dunia nyata.

" Tanyakan ibu dan bapak, Mas. Aku mau mencari mereka dulu di kebun. Tapi tolong jangan ceritakan apapun tentang semalam. Aku mohon," pinta Kinasih, yang wajahnya begitu membuatku bisa menundukkan mata.

" Baik," dengan tegas aku jawab.

Kinasih membalikkan badan, dan bergegas pergi dari teras rumah itu. Rumahnya beralaskan semen, terlihat kotor tapi di telapak kakiku terasa bersih. Aku melihat atap, dan ada genting yang bocor.

" Rumah ini tak layak huni."

*
*
*

"Mas, perkenalkan Bapak dan Ibu," Kinasih bergegas pergi untuk menyiapkan suguhan.

" Le, sampeyan teman kuliahnya Kinasih ?" Tanya Bapak itu dengan lembut.

" Iya, Pak. Mohon maaf, Pak. Bukannya saya lancang, saya hanya ingin bertanya sebelum kita berbincang-bincang yang lain. Boleh kah saya bertanya sesuatu ?" Aku memburu jawaban atas semua pertanyaan di pikiranku semenjak menyentuh lantai rumah ini.

" Monggo, Nak."

" Bagaimana Bapak bisa menyekolahkan Kinasih hingga bisa menempuh jenjang sarjana bahkan saat ini dia menjadi dokter ?" Tanyaku dengan gegap gempita.

" Hlo, jare sinten, Nak ? Kata siapa saya menyekolahlan Kinasih ?" Jawabnya heran dengan pertanyaanku.

Aku justru lebih heran lagi dengan jawaban Bapak Kinasih. Jawabannya seperti akan diikuti ribuan pertanyaan teosofis. Tapi, Aku sadar, itu hanya teori. Walaupun semalam aku mengalaminya, tapi tidak mungkin hal itu dialami berkali-kali oleh manusia.

" Yang menyekolahkan Allah, Nak."

Jawaban yang sangat mudah Aku tebak. Karena semua orang akan menjawab itu.

" Lebih kongkretnya seperti apa Pak ? Tidak mungkin uang turun dari langit sehingga bisa memenuhi kebutuhan kuliah Kinasih kan ?" Timpalku, untuk memotong semua jawaban tidak kongkret. Aku masih tidak meyakini Tuhan begitu baik sehingga akan menyekolahkan seorang anak petani.

" Jadi, keluarga kami miskin. Jelas terlihat ya ? Hahaha, kami jelas tidak akan mampu menyekolahkan Kinasih di jurusan yang favorit di kampus negeri. Tapi, ada program pemerintah yang memudahkan kami, sehingga UKT Kinasih tidak begitu mahal. Lalu uang bulanan Kinasih di sana seperti apa ? Saya tidak tahu. Wong Kinasih tidak pernah minta. Kami hanya membekali doa sama beras. Makanya saya menjawab Gusti Allah, karena saya sendiri juga tidak tahu."

Jawaban paling menyebalkan yang pernah Aku dengar. Tapi, itu menjawab semuanya...

" Tidak begitu, Mas. Bapak berbohong. Sebenarnya, Bapak ibu setiap bulan mengirimi saya uang lewat rekening Pak Kandar. Kepala Desa kami dulu. Beliau sudah meninggal beberapa bulan yang lalu. Kata Pak Kandar, Bapak Ibu menggadaikan tanah dan pekarangan kepada Pak Kandar sebagai ganti uang bulanan saya Mas." Tiba-tiba Kinasih menjawab dengan tegas, sembari menaruh kopi didepan Aku dan Bapak. Kami duduk di sebuah lincak, tempat duduk yang memanjang terbuat dari bambu.

" Nduk, Bapak ndak pernah mengirimi kamu uang, Nduk !" Bapak menyanggah tiba-tiba.

" Jangan bohong to, Pak. Masak Pak Kandar yang galak itu mau mengirimi saya uang. Saya loo, bukan siapa-siapa dia. Wong jelas-jelas Pak Kandar selalu menanyakan apakah kiriman Bapak Ibu sudah masuk. Mana mungkin Pak, saya kuliah kedokteran loo. Walaupun UKT nya rendah, tapi kan biaya yang lain tetap mahal to Pak," Kinasih menyanggah dengan nada sedikit tinggi.

" Oh, pantas setiap pulang, kamu bilang terima kasih kirimannya. Hla tak kirane itu kiriman yang 500 ribu, Nduk. Bapak beneran cuma bisa ngirim 500ribu itu tiap semester, ya memang lewat rekening Pak Kandar. Tapi, yo ora setiap bulan lo, Nduk ?!" Bapak terheran heran, sedangkan aku menemukan jawaban.

" Terus kalau itu, memang Pak Kandar yang mengirim. Hla, alasan dia mengirim itu apa lo Pak ?" Tanya Kinasih

" Allah..."

Bibirku berucap, dan air mataku ikut luluh dalam keheningan.

Alif : Perjalanan Sunyi Menuju TuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang