Penebar Hio

28 0 0
                                    

Semenjak pertemuanku dengan Romo Muspro, kehidupanku menjadi berubah. Perspektifku tentang alam semestar seperti di obrak-abrik. Banyak pertemuan-pertemuan dengan manusia pengabdi Tuhan. Mereka orang-orang yang tak bisa di sangka dan sulit di mengerti. Mereka tak pernah mengeluh dalam hidup dan terus memperjuangkan rasa kemanusiaan dalam jalan mereka. Mereka menganggap bahwa apa yang mereka lakukan adalah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan serta menjaga keseimbangan semesta.

Mas Suroso, adalah salah satu penempuh jalan ketuhanan yang menurutku aneh. Pertemuan pertamaku dengannya adalah saat melakukan pendakian di Gunung Lawu. Salah satu gunung yang paling dikeramatkan di pulau Jawa. Meskipun dikeramatkan, gunung ini merupakan sebuah objek wisata yang sangat sering di kunjungi oleh turis lokal maupun mancanegara.

Gunung Lawu, merupakan 3265 mdpl. Memiliki tiga jalur aktif, yaitu jalur Candi Cetho, Cemoro Kandang, dan Cemoro Sewu. Ketiga jalur tersebut memiliki panjang dan vegetasi alam tang berbeda. Jalur yang paling sering aku gunakan adalah jalur Cemoro Sewu. Jalur terpendek dari kedua jalur yang lain. Dan di jalur inilah pertemuanku dengan Mas Suroso.

Malam itu di sekitar Sendang Derajat, aku dan teman-teman mendirikan tenda. Saat itu kami bercengkerama di dalam tenda. Tiba-tiba ada semerbak bau yang sangat wangi. Seketika kedua orang temanku seperti ketakutan. Mereka bergegas pamit untuk tidur. Karena aku juga belum mengantuk, aku mencoba memberanikan diri untuk keluar melihat sumber bau wangi itu.

Sesaat aku mau keluar, baru saja aku membuka resleting flysheet tenda, aku mendengar suara langkah kaki orang. Aku juga suara seseorang yang seperti tengah bersenandung tembang jawa. Tapi suaranya seperti hanya samar-samar. Aku memberanikan diri untuk keluar. Dan ternyata aku meliha sesosok laki-laki setengah baya. Laki-laki itu melihatku dengan pandang meneduhkan dan tersenyum.

" Dia mungkin manusia," batinku.

Aku membalas senyumannya, dan memintanya untuk beristirahat di tendaku. Dia bersedia, kemudian berjalan mendekat. Aku pun menyeduhkan segelas kopi. Dan malam itu, dia menemaniku untuk menikmati malam dan cahaya rembulan utuh. Kamipun mengobrol di teras tenda.

" Sampeyan kok belum tidur mas ? Dan terlebih lagi, kok berani membula tenda. Biasanya setiap saya lewat sini, tidak ada yang berani membuka tenda." Dia memulai perbincangan malam itu dengan pertanyaan.

" Hahaha, hlaa kenapa harus takut Mas ? Saya kan manusia, dan sampeyan juga manusia." Aku menjawab dengan menyodorkan segelas kopi yang tadi aku seduh.

" Biasanya semuanya takut membukakan tenda karena bau wangi hio yang saya bawa mas." Hio disebut juga dengan dupa, orang kejawen, hindu, buddha, dan kong hu cu menggunakanya sebagai sarana persembahyangan atau persembahan kepada arwah leluhur. Sayangnya, banyak orang menganggap orang-orang menggunakan hio untuk mengundang setan.

" Hhhmm..," aku mengangguk mendengarkan penjelasannya.

" Tapi mas, untuk apa sampeyan melakukan ini semua ? " Aku bertanya dengan nada sangat serius.

" Baik, karena saya pun mau beristirahat, mungkin ndak papa saya ceritakan. Jadi, sebenarnya saya melakukan ini bukan dengan maksud apa-apa. Saya hanya perihatin semenjak gunung ini dijadikan tempat wisata. Banyak yang datang kesini dengan niatan yang kotor, seperti pesugihan atau kadigdayan. Sedangkan yang muda-muda datang kebanyakan hanya untuk membuang sampah sembarang, kadang mengambil bunga, kadang juga berbuat mesum. Walaupun masih ada yang peduli dengan alam, tapi kebanyakan pendaki yang dataang kesini seperti itu sekarang." Dia berhenti sejenak, kemudian menyeruput kopi yang aku berikan tadi.

" Lalu, suatu hari saya bermimpi. Mimpi itu terjadi berkali kali. Di mimpi itu, saya melihat Gunung Lawu berubah menjadi buto berambut gimbal dan betaring tajam. Buto itu berwarna merah, dan makan banyak orang yang mau mendaki." Mimpi itu ternyata membuat Mas Suroso sadar, Lawu memilihnya untuk menjalakan sebuah tugas besar.

Dan dari mimpi itu, dia bertemu dengan Eyang Lawu. Tubuhnya sedikit gemuk, berjubah putih, dan wajahnya bersinar. Di mimpi itu Eyang lawu berpesan," Lawu sudah timpang, Nak."  Kata-kata itu di ucapkan dengan senyuman.

Dari mimpi itu, Mas Suroso kemudian bertekad untuk menjaga Gunung Lawu. Mas Suroso pertama-tama bermaksud memberi makan dan memberi penghormatan dengan hio. Hio ini dia bakar kemudia di tancapkan pada setiap 10 langkah sepanjang jalur pendakian. Dengan itu, dia berharap makhluk halus di sepanjang jalan, akan menjaga lawu dan mencegah manusia-manusia berbuat merusak. Di setiap pos tempat orang orang mendirikan tenda, Mas Suroso juga membakar hio cukup banyak, agar orang-orang yang tidur di dalam tenda tidak diganggu, dan mencegah orang-orang berbuat mesum di malam hari.

" Semuanya, saya lakukan demi menjaga keseimbangan Gunung Lawu. Manusia saat ini terlalu mengeksplotasi keindahan alam, tapi hanya sekedar menikmati. Mereka lupa bahwa Tuhan menjabarkan keindahan-Nya di alam semesta ya melalui bumi dan langit. Tapi, sayangnya, ketika kita melihat pemandangan kita hanya melihat yang wujud, tidak pernah melihat di balik yang wujud ini ada wujud yang sejati, yaitu Tuhan. Kalau semua orang tahu, dibalik yang wujud ini ada Tuhan. Mungkin saja para pendaki itu tidak akan membuang sampah sembarangan, berbuat mesum, apalagi melakukan pesugihan atau mencari kadigdayan. Gunung Lawu adalah tempat keramat, manusia mengheningkan cipta dan berkontemplasi. Harusnya itu yanh dilakukan." Mas Suroso menggambarkan bagaimana dia memandang gunung dan alam semesta.

Aku pun tak menyangka, bahwa perjalanan yang dia lakukan seperti justru untuk mendoakan banyak orang. Dia hanya ingin mengembalikan keseimbangan yang telah di rusak oleh turis. Dengan cara ini, dia berharap suatu saat nanti manusia akan sadar pentingnya keseimbangam hubungan mereka dengan alam.

Kami meneruskan obrolan dan seruputuan kopi kami lagi. Dibawah sinar rembulan, udara dingin menusuk tulang. Tapi, keindahan malam itu terasa lebih indah dengan keberadaan Mas Suroso yang menjelaskan berbagai hal tentang Lawu.

Jam menunjukkan pukul 01.23 WIB

" Mas, saya mau melanjutkan perjalanan saya dulu. Tolong jagalah semesta ini, sesuai dengan kemampuan Mas, ya ? Ini nanti paling saya langsung turun ke basecamp, Mas. Kalau mau ketemu lagi, mampir basecamp saja" Dia kemudian beranjak dari tempat duduknya, kemudian berpamita dan pergi. Aku pun bergegas masuk ke tenda, karena tiba-tiba dingin menusuk. Sesaat, sebelum menutup tenda, aku melihat keluar, untuk mengamati Mas Suroso. Sayang, saat itu kabut, pandanganku terhalang. Tapi, bau hionya benar-benar menenangkan pikiranku malam itu.

Alif : Perjalanan Sunyi Menuju TuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang