Itulah awal ketika saya merasa Teh Redia memberi jalan buat saya. Tapi hal itu gak benar juga karena pada kenyataannya, Teh Redia begitu pada semua orang. Dia baik pada semua orang.
Setelah di telepon waktu saya bilang mau ajak dia pergi, itu gak jadi karena saya mendadak ada urusan besoknya. Namun saya merasa tetap diberi jalan karena setelahnya dia selalu bisa-bisa saja kalau saya ajak ketemu meski gak ada urusan apa-apa. Kadang saya cuma diam di terasnya, saya nanya satu dua pertanyaan lalu dia jawab, sudah.
Ketika saya pikir dia baik pada semua orang, buktinya selain dia bersikap sama ke Deden, ada bukti lain. Pernah satu waktu saya lewat ke rumahnya dan disana ada laki-laki yang beberapa hari setelahnya saya ketahui kalau itu teman sekolahnya dulu. Lebih patah hati lagi karena dia memang suka datang ke rumah Teh Redia seperti orang pacaran yang ngapelin, katanya begitu.
Ketika saya pikir saya merasa diberi jalan namun gak diberi akses lain untuk lebih dari teman, itu salah. Ternyata sayanya aja kegeeran sampai saya jadi (kegeeran lagi) merasa dipermainkan, saya datangi dia tanpa persiapan. Sejadinya saja.
"Yang Teteh rasain ke saya sebenernya apa, sih?"
Dia diam.
"Yang kamu rasain ke aku emangnya apa?"
"Masih sama, saya suka sama Teteh." saya bilang.
"Ah, lagi-lagi omongan kamu gak sesuai sama tingkah lakumu."
"Saya gak ngerti, Teh."
"Sama, Aril. Aku juga gak ngerti."
Bukan lega, malah kesal yang saya dapat. Perempuan cantik ini susah ditebak.
"Kirain udah gak inget."
Kata Deden ketika saya sampai di rumahnya karena selama hampir dua minggu itu paling cuma ketemu di sekolah.
"Maaf." saya bilang.
"Kunaon?" tanyanya.
Kenapa?Padahal biasanya dia gak nanya begitu kalau saya datang ke rumahnya.
"Enggak. Aku kangen kamu aja, Den."
Dia bergidik ngeri.
"Masuk." katanya. "Geus dahar can?" tanyanya yang artinya menanyakan saya sudah makan belum.
"Nggeus." jawab saya.
"Kunaon?" tanyanya lagi.
"Aing teu ngarti pikiran Teh Redia."
Gue gak ngerti pikiran Teh Redia.Kemudian saya ceritakan semuanya sampai akhirnya...
"Goblog."
"Hah?"
"Belegug maneh mah." katanya.
"Naon?!"
"Bener Teh Redia!"
"Bener naon, Den?!" tanya saya.
"Maneh ngaku suka, tapi usahanya gak ada."
"Hah?!"
"Dengerin," katanya. "Kalau cewek kayak gitu, harus tunjukin bener-bener."
Saya gak ngerti maksud Deden, saya merasa sudah menunjukan usaha dengan betul.
"Harus gimana, Den?"
"Ajakin jalan."
"Ah, waktu itu aku pernah ngajakin jalan, Den. Gak enak soalnya tiba-tiba aku lagi yang batalin."
"Justru itu!" kata Deden.
"Justru apa?"
"Kalo dia mau-mau aja, berarti dia gak peduli kamu beneran ngajakin dia jalan atau enggak. Tapi, kalau dia ragu-ragu, berarti dia pernah kecewa sama kamu. Berarti dia pengen jalan sama kamu!" jelas Deden.
Jujur saya kurang setuju dengan ujar Deden sore itu, tapi malamnya saya tetap coba sarannya.
📞"Teh, besok pergi, yuk?"
📞"Hm? Oh..."
📞"Kok 'oh'?"
📞"Ah, nanti gak jadi lagi..."
Eh?! Saya girang!!!
📞"Jadi! Saya janji!"
Terima kasih, Deden!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
PANASEA 1996
FanfictionBantu saya agar selalu baik-baik saja, selama dia bahagia. PANASEA 1996: Panasea untuk Redia -republish, alternate universe ANYANUNIM 2019