"Jujur sama Aril, Teh Redia kenapa? Teteh mau kemana?"
Tapi dia gak kunjung bicara. Entah kenapa rasanya saya baru kali ini gak enak hati.
"Mau tau dari aku mau tau dari Mamah aku?" tanyanya saat itu.
Saya takut kalau harus tau dari dia langsung soalnya takut bikin dia sakit hati tapi kalau tau dari Mamahnya saya takut akan ketakutan saya soal Teh Redia meski entah soal apa.
"Atau mau tau dari pegawe pabrik tahu?" tanyanya berusaha bercanda, salah nih saya ngajarin dia bercanda.
"Jangan bohong, Teh."
Dia diam, tuh 'kan bohong. Dia malah mengerling.
"Mau liat obatnya?"
"Teteh sakit apa?"
"Mau tau dari aku mau tau dari Pak RT tiga?"
"Teh lah,"
Dia ketawa kecil.
"Bocor jantung, pernah denger enggak?"
Rasanya dunia ini kayak ditonjok sekeras mungkin saat itu juga. Saya bener-bener gak percaya teh Redia sakit. Soalnya dia kelihatan baik-baik aja. Dia cuma kelihatan cantik dan pendiam. Udah, itu aja. Malamnya saya gak bisa tidur mikirin Teh Redia, saya gak berhenti berdoa semoga dia sembuh dan sehat selamanya.
Besok lusanya ketika sore saya datang ke rumah teh Redia tapi gak ada yang buka pintu.
"Assalamualaikum, punten..."
"Teh Rediaaaaaaa..."
"Assalamualaikum,"
"Bu Wina, punten..." saya sedikit kesal akhirnya karena gak ada yang bukain pintu terus.
Sampai akhirnya saya tau besoknya lagi, itupun saya tau dari Teh Widi.
"Redia diopname lagi, Ril." kata Teh Widi siang itu waktu saya pulang sekolah.
Pantas semalam saya telepon gak ada yang ngangkat. Hari itu saya buru-buru pulang ke rumah dan minta ongkos ke Mamah kalau saya mau ke rumah sakit di kota. Jelas Mamah nanya ada keperluan apa, saya jawab pokoknya perlu dan mau pergi sama Deden padahal saat itu saya belum ngajakin orangnya. Mamah awalnya gak ngijinin saya pergi tapi saya bilang,
"Pacar Aril sakit, Mah."
Barulah beliau kasih ijin, saya lari-lari ke rumah Deden yang mana ada di RT lain. Sesampainya disana rasanya mau sujud syukur lihat motornya masih ada di teras rumahnya, yang artinya Deden gak kemana-mana.
"DEEEEN! DEDEEEN!" sampeur saya sambil hah heh hoh, capek.
Gak lama si Deden keluar dengan celana pendek setengah paha dan kaos dalem.
"Anterin, Den!" pinta saya masih diluar pagar rumahnya.
"Kamana?" tanyanya sambil jalan mendekat mau bukain pager.
Kemana"Anter ke rumah sakit!"
"Maneh gering?" tanyanya.
Lo sakit?"Lain, Teh Redia. Bantuin, Den."
BukanMuka Deden saat itu sedikit kaget, dia gak jadi bukain pager dan langsung masuk lagi ke rumah. Gak lama dia keluar lagi dan ngelemparin kunci motornya.
"Hurungkeun." suruhnya lalu dia masuk lagi kedalam.
Nyalain.Saya langsung masuk ke halaman rumahnya dan nyalain motornya, gak lama Deden keluar lagi setelah pakai jaket.
"Deden kedepan dulu, Bu!"
"Sama siapa?"
"Aril. Assalamualaikum!"
Siang itu saya yang mengendarai motornya dan Deden gak masalah dengan itu. Jalanan siang itu cukup lengang untuk saya bisa sampai cepat. Setelah parkir disana, Deden turun duluan lalu nanya.
"Tau di rumah sakit ini di ruangan apa?"
Saya rasanya mau nampar diri, saya gak nanya Teh Widi dan dia juga gak ngasih tau. Akhirnya saya cuma tepuk jidat dan si Deden berkacak pinggang.
"Belegug sia mah!" katanya sedikit kesal.
Lu mah bego!Hari itu saya dan Deden jadi harus nanya-nanya ke orang rumah sakitnya, disuruh tanyain aja ke kantor ruangannya. Berakhir saya dan Deden keliling-keliling di rumah sakit berharap tiba-tiba nemu ruangannya Teh Redia.
"Sakit apa?"
"Bilangnya bocor jantung."
"Tanyain sama petugasnya kayak gitu."
Sampai akhirnya di blok ruangan yang kami datangi untuk yang keempat kali, petugas di kantor ruangannya jawab,
"Oh, ada yang kemarin masuk. Febrina Redia?"
Saya buru-buru ngangguk.
"Tuh, kamar nomor tiga." katanya, lalu saya bilang makasih dan dijawab sama-sama.
Saya dan Deden jalan sampai di pintu kamar nomor tiga tapi saya gak sanggup masuk kalau harus lihat Teh Redia betulan ada didalamnya.
"Mau beli minum," kata Deden yang nepuk pundak saya lalu pergi gak tau kemana.
Saya langsung buka pintu kamarnya aja dan,
"Assalamualaikum,"
"Waalaikumsalam." itu suara Bu Wina.
Sampai dua detik setelahnya barulah saya mendapati beliau keluar dari tirai.
"Eh? Tuh Teh, ada temennya. Sini masuk, Chandra." kata beliau.
Saya ngangguk dan masuk sampai akhirnya saya melewati beliau dan sampai dibalik tirai itu, Redia betul-betul ada diatas ranjang dingin itu.
"Gak sekolah?" tanyanya.
"Sekolah atuh."
"Biasa juga mabal." katanya sambil senyum.
Tangan kirinya diinfus, hidungnya pakai selang oksigen.
"Kemarin saya ke rumah."
"Kemarin aku tidur disini." jawabnya.
Sedih, kenapa Teh Redia harus bilang begitu.
haiii yorobun kangen si aril egk
KAMU SEDANG MEMBACA
PANASEA 1996
FanfictionBantu saya agar selalu baik-baik saja, selama dia bahagia. PANASEA 1996: Panasea untuk Redia -republish, alternate universe ANYANUNIM 2019