#5. Tadinya mau menyerah.

1K 378 55
                                    

"Aing teu apal!" kata si Deden waktu itu.
Gue gak tau!

Saya cuma diam menatap dia, saya sebetulnya gak percaya juga Deden bisa pergi cuma berdua dengan Teh Redia.

"Kita pergi bertiga, Ril. Teh Widi ngajakin, gak bilang bakal sama siapa. Aing girang. Ngira bakal berduaan weh sama Teh Widi. Taunya dia ngajak Teh Redia, taunya lagi di Misbar dia malah ketemuan sama cowok, aing ditinggalin sama Teh Redia berdua."

Saya patah hati kedua kalinya, tapi kali ini, saya mengerti bahwa Deden sama patah hatinya. Siang itu saya dan Deden saling diam. Tapi waktu saya lihat Teh Redia di Misbar hari itu, dia kelihatan senang. Mungkin Teh Redia suka sama Deden.

"Den,"

"Naon?"

"Kalo Teh Redia suka sama lu, gimana?"

"Kalo Teh Widi suka sama lu, gimana juga?" tanyanya balik.

Saya diam lagi.

"Kita gelut aja."

Kisah yang tadinya ingin saya ceritakan banyak tentang perempuan bernama Redia, malah jadi banyak menceritakan anak laki-laki yang gak lebih ganteng dari saya dengan nama Pradipta Erlangga itu.

Saya memutuskan untuk berhenti berharap. Mulai hari itu, saya berhenti disitu. Saya pikir kalaupun benar Teh Redia suka sama Deden, saya gak akan gelut juga dengan dia. Jadi, ya sudah. Hari-hari saya kembali biasa saja, hiburannya paling main dirumah Deden.

Suatu waktu,




"Mah, pengen makan."

"Mamah belum masak."

"Naha?"
Kenapa?

"Ngebantuin Bu RW dari pagi. Endog wehㅡ"

"Bosen..."

"Beli tahu aja, sekalian buat si Dede juga makan bentar lagi pulang mainㅡ"

"Capek atuh, Mah. Aril baru pulang sekolahㅡ"

"HAERIL!"

"Iya!"




"Méng... méng..." sapa saya ke kucing yang lewat waktu dekat pabrik tahu.

Kalau waktu itu saya berharap bisa ketemu Teh Redia, sekarang sudah enggak! Namun memang rejeki anak ganteng, Teh Redia keluar dari rumahnya sewaktu saya mau pulang, saya gak sadar memilih jalan yang melewati rumahnya, he he he. Tapi dia kelihatan seperti sedang bingung. Saya gak berniat menyapa dia langsung tapi bola mata kami tiba-tiba bertemu, lalu Teh Redia kelihatan seperti mau bicara sampai akhirnya dia berlari ke pagar dan,

"Eril."

Asik!

"Iya?"

"Lihat kucing gak?"

Eh, sebentar.

"Warna kuning?"

"Iya!"

"Tadi kesana." kata saya sambil menunjuk ke belakang.

"Ih... Itu kucing aku!"

"Ya udah tunggu! Saya kejar." kata saya sambil balik arah lagi.

Tapi balik lagi.

"Nitip tahu."

PANASEA 1996Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang