Saya ngajakin dia pergi di hari minggu. Gak kemana-mana, gak pergi jauh maksudnya. Bu Wina (Ibunya) sendiri pernah kasih tau saya. Begini,
"Redia mah gak boleh main jauh-jauh, ya."
Tentu Teh Redia sendiri selalu bilang, "Aku gak bisa pergi jauh-jauh."
Itu juga yang jadi alasan kenapa saya sering ke rumahnya. Memang gak perlu pergi jauh, sih. Saya cuma ingin sering melihat dia
"Aku bukan nolak kamu, Ril. Aku emang gak mau pacaran."
"Iya, kenapa?"
"Gak kenapa-kenapa. Ah, buang-buang waktu aja."
"Nikah atuh?!" ajak saya.
Dia menoleh sambil melotot.
"Lamar dulu!" katanya.
Saya ngangguk, kalau dia pikir saya cuma asal bicara, enggak, saya beneran mau ngelamar dia.
"Disini?"
"Enggak, dateng ke rumah." katanya.
Saya mengangguk lagi, "Oke. Tungguin Aril lulus sekolah."
Dia malah menggeleng.
"Ih? Serba salah!" keluh saya.
"Ya gak tau atuh!" katanya. "'Kan belum tentu kita jodoh."
"Ya makanya tungguin biar tentu." balas saya.
Teh Redia malah mengerling, "Siapa tau besok lusa aku pacaran sama orang lain."
"Katanya gak mau pacaran?!"
"Ya 'kan siapa tau..."
"Ah, cewek gak konsisten!" ledek saya.
Hari itu saya dan Teh Redia cuma jalan-jalan ke dekat balong besar, seperti danau tapi gak sangat luas juga. Gak aneh tempat itu saat itu memang ramai diminati muda-mudi yang lagi dimabuk asmara, adeuy. Saya disitu dengan Teh Redia namun cuaca sialan! Gak mendukung saya. Baru juga sejam disana tiba-tiba gerimis, lalu jadi hujan.
"'Kan bener aku bilang juga bakal ujan." kata Teh Redia saat itu sambil membuka payung besarnya (sebelum berangkat disuruh bawa payung oleh Ibunya).
Lihat, gara-gara hujan kami jadi pulang.
"Sini saya yang pegangin." saya bilang.
"Gak mau." katanya.
Ya sudah, tapi akhirnya dia pegang sesuai dia biasanya pegang yang mana kepala saya jadi harus nunduk dikit. Setengah perjalanan pulang saya panggil dia,
"Teh,"
"Apa?"
"Leher Aril sakit."
Dia menoleh kemudian, "Bilang, dong."
"Itu bilang. Makanya tadi sini kata saya juga, saya yang pegangin payungnya."
Dia malah ketawa.
"Ngapain ketawa?" tanya saya.
"Enggak, emang sengaja aja sama aku diturunin payungnya biar kamu pegel."
Saya pura-pura cemberut, dia terkekeh.
"Jangan nyengir ah, Teh." saya bilang.
"Kenapa?" tanyanya.
"Cantik."
Perjalanan terus berlanjut sampai akhirnya kami sampai didepan rumah Teh Redia.
"Nih, pake payungnya." katanya.
Tentu saya terima, 'kan untuk mengembalikannya biar jadi alasan saya bertemu Teh Redia lagi. Dia sudah masuk ke pekarangan rumahnya, berjarak sekitar satu meter dengan saya.
"Saya pulang, ya."
"Iya."
Baru saya mau berbalik,
"Aril!"
Saya menoleh.
"Aku gak bakal pacaran sama siapa-siapa." katanya.
Entah kenapa kedengaran lucu di telinga, saya juga rasanya mau senyum-senyum saja.
"Asli?" saya tanya.
Dia mengangguk, "'Kan katanya kamu mau ngelamar."
ASIK!
KAMU SEDANG MEMBACA
PANASEA 1996
Fiksi PenggemarBantu saya agar selalu baik-baik saja, selama dia bahagia. PANASEA 1996: Panasea untuk Redia -republish, alternate universe ANYANUNIM 2019