Pergi

2 0 0
                                    

Sampai bel masuk sekolah berdering, Narendra tak kunjung membalas pesanku

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Sampai bel masuk sekolah berdering, Narendra tak kunjung membalas pesanku. Aku mendengus sebal.

"Semesta gak masuk, Ra?" tanya Zamora yang mungkin sadar karena dengusanku terlalu besar.

"Iya, enggak."

"Kenapa?"

Entah kenapa aku semakin merasa kesal saat ditanya. Entah karena cowok itu tidak masuk sekolah atau karena dia tidak mengabariku.

Aku berdecak, "Aku nggak tau. Jangan tanya aku."

Zamora hanya tersenyum sebal.

Bu Dara memasuki kelas kami. Aku semakin lesu. Kuhela napasku malas bercampur lelah.

"Kejora, kenapa? Ibu baru masuk kamu sudah malas begitu? Tidak senang sama kehadiran Ibu?"

Mampus aku.

"Eh, enggak, Bu. Badanku sedikit kurang fit aja." jawabku berbohong, tentunya. Zamora di sampingku sudah terkikik pelan.

Untungnya Bu Dara percaya. Dia hanya ber oh ria. "Kalau tidak fit harusnya istirahat saja di rumah," ucapnya memberi saran.

Aku tertawa palsu, "Hehe, iya ya, Bu."

"Yasudah, kamu masih kuat kan sampai jam istirahat pertama?"

"Iya, kuat, Bu."

Bu Dara mengangguk dan mulai menulis garis besar materi kami pada papan tulis. Lalu suara Pak Santo mulai terdengar di speaker kelasku, artinya kami akan berdoa sebelum memulai pelajaran.

Sekali lagi, aku menghela napas sebelum menyatukan kedua tanganku untuk berdoa, sekaligus menyampaikan permohonanku kepada Yang Di Atas agar tidak ada kabar buruk yang akan kudengar.








Setelah pulang sekolah, aku langsung terburu-buru pergi ke rumah Narendra. Benar-benar terburu-buru sampai tidak sempat mengganti baju dan kena omel Mama. Aku tidak begitu menanggapinya. Langsung mengganti sepatuku dengan sandal jepit.

Lalu berlari ke rumah Narendra.

Kuketuk pintu jati itu dengan kencang berkali-kali. Tapi tak ada satupun penghuni rumah yang keluar.

Aku benar-benar sebal, emosiku naik. Dadaku naik turun. Dengan terpaksa aku kembali ke rumah.

Namun mataku menangkap sebuah hoodie abu abu di ujung teras rumah Narendra sebelum aku putar badan sepenuhnya. Hoodie itu terkapar dan sedikit tertutupi rak sepatu yang kosong tidak seperti biasanya.

Aku mendengus tengil. Mau membuatku kesal, huh? Lihat saja. Kuambil hoodie kesayanganmu, Naren! Rasakan ini. Gantian kamu yang akan tersiksa.

Aku jadi tidak sabar melihat wajah sebal atau bahkan paniknya Narendra saat merasa kehilangan hoodie kesayangannya ini.








Itu yang kuharapkan pada saat itu, tapi nyatanya aku bahkan tidak sempat melihat wajahnya lagi.









Pesanku baru dibalas keesokan harinya saat aku sedang sarapan sebelum berangkat sekolah.

Pergerakanku yang sedang mengunyah roti seres terhenti saat membaca balasan pesannya. Tidak ada kata yang bisa menggambarkan perasaanku.

Shock, lemas, mulas, sesak, semua bercampur satu.

Shock, lemas, mulas, sesak, semua bercampur satu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ternyata yang dikatakan Mama semalam benar.

Iya, Mama sudah memberitahuku kemarin malam sebelum aku tidur. Namun aku hanya terkekeh seolah menganggap hal yang dikatakan Mama adalah lelucon.

Padahal saat sampai di kamar aku terisak keras. Aku percaya dengan yang dikatakan Mama dan aku tahu itu benar. Sejak awal rumah Narendra kosong dan dia tidak mengabariku, aku sudah menduga hal ini.

Tapi aku selalu berusaha menyangkal fakta itu.

Dengan setia kutunggui kabar langsung dari yang bersangkutan. Sampai akhirnya pagi ini dia benar-benar mengakui kenyataan itu.

Bahwa dia sudah pindah ke kota lain lagi, sama seperti dia pindah ke kota ini satu tahun yang lalu karena faktor pekerjaan Ayahnya.

Kutatap kembali layar hp yang masih menampilkan ruang obrolan kami berdua.

Narendra terlihat sedang mengetik sesuatu, tapi buru-buru aku blokir kontaknya dari hp ku.

Aku sudah terlanjur membencinya.

lose Where stories live. Discover now