Life Goes On

4 0 0
                                    

| 2021 |

Halo. Ini Kejora yang sekarang.

Aku tidak banyak berubah. Hanya poniku kubiarkan tumbuh panjang menyatu dengan rambut sehingga aku tidak memiliki poni lagi.

Pipiku tidak setembam dulu walau tetap berisi.

Camilan favoritku masih sama, pisang sale.

Kalau kalian berpikir aku akan menjauhkan camilan itu dari hidupku, kalian salah. Tapi kalau kalian berpikir aku akan mengingat sosok Narendra tiap kumasukkan makanan itu ke mulutku, kalian benar.

Namun sepertinya rasa sayangku pada pisang sale lebih besar, sehingga aku tetap tidak bisa jauh dari makanan itu, haha.

Aku juga tidak menutup hati untuk cowok lain di luar sana. Walau sejujurnya juga tidak benar-benar membuka.

Beberapa kali aku berpacaran atau didekati oleh cowok di sekolahku, tapi belum ada yang bisa menggantikan perasaanku pada bocah 14 tahun kala itu.

"Kejora!"

Aku tersentak kaget dari lamunanku saat ada yang mengejutkan dari belakang.

Saat melihat siapa yang berulah, aku berdecak.

"Apaan sih, kebiasaan."

Dia hanya terkekeh tanpa merasa bersalah.

Kalian ingat Zamora teman dekatku dua tahun lalu? Dia masih berada di posisi itu sampai sekarang.

Dan, ya. Nama panggilanku tetap Kejora. Tidak ada—dan memang tidak kuperbolehkan—seorang pun yang memanggilku 'alea'. Nama itu selalu membuatku mengingat dia.

"Kok ngelamun lagi sih?! Ayo buruan. Mau ke kantin nggak?" ucapnya merengek sebal.

"Iya ah, berisik."

Aku bangkit dari kursiku dan menghampiri Zamora. Kami berdua pergi ke kantin dengan tangan saling melingkar di lengan.

Jora-Mora. Mungkin kami berdua memang ditakdirkan untuk menjadi sepasang sahabat.

Banyak orang yang heran, sifat kami lumayan bertolak belakang. Zamora yang pecicilan dan berisik, Kejora yang kalem dan pendiam. Kenapa bisa awet?

Aku pun tidak tahu jawabannya. Mungkin karena cewek di sampingku ini sudah tahu kisah sejarahku dari awal.

Ngomong-ngomong sifat, iya. Kejora yang sekarang tidak lagi cerewet dan riang. Namun juga bukan seorang yang jutek atau dingin.

Aku hanya mengurangi porsiran emosiku. Apa ya namanya? Datar?

"Jora. Kenapa sih? Kok melamun terus hari ini? Lagi ada masalah ya?"

"Tiap hari juga gue ngelamun kan?"

Zamora menghela napasnya sambil tersenyum mengejek. "Kepikiran Na--Semesta?"

Aku langsung melepas tanganku yang melingkar dari lengannya dan menjauh. Kutatap Zamora sinis, "Sembarangan kalo ngomong."

Dia terbahak. Menarikku kembali. "Bercanda, ah."

"Jora, Mora! Sini."

Aku dan Zamora yang tengah membawa mangkuk bakso menoleh ke sumber suara, lalu kami berdua saling melempar senyum senang karena ternyata ada meja yang siap menerima kami.

"Untung ada lo, Ka. Kalo nggak bisa keburu habis jam istirahat nungguin meja kantin kosong." ucap Zamora setelah kami berdua menghampiri Raka, yang memanggil tadi.

Raka hanya tertawa sambil menepuk dadanya bangga seolah telah menyelamatkan kami.

"Makasih ke gue tuh harusnya. Gue yang ngusulin Raka manggil lo berdua." celetuk cowok di sebelah Raka. Namanya Chandra.

"Tapi kan gue yang manggil."

"Yang ngusulin siapa? Gue kan!"

Mulai lagi....

Raka dan Chandra tidak ada habisnya kalau sudah berdebat, baik karena hal kecil sekalipun.

"Iya, makasih kalian berdua." ucapku agar dua mahluk di depanku ini tidak berdebat.

"Nah, gitu dong." ucap Chandra dan Raka serentak, mereka saling ber tos ria.

Aku memutar bola mataku sambil tertawa kecil.

Ya, sesuai judul part ini, life goes on. Aku memilih menjalani hidup yang terus berlanjut dibanding menunggu kebohongan Narendra yang katanya akan kembali.

Maaf, Naren. Tapi sepertinya namamu memang sudah terhapus dalam hidupku.

lose Where stories live. Discover now