Saat ini, Ikrar menginjak umur dua belas bulan. Ia selalu tertawa, sembari memamerkan gigi seri tengah bagian bawah.
Talita tersenyum melihat anaknya semakin berkembang. Ia membelikan mainan pesawat untuk Ikrar.
"Anak ibun ngapain?" tanya Talita.
Jawaban yang dilontarkan Ikrar hanyalah memainkan mainannya. Sesekali ia memukul lantai rumah. Suara tertawa lagi-lagi membuat Talita tersenyum lebar.
Ikrar bisa diajak interaksi sedikit demi sedikit. Walaupun hanya suara tertawa yang dilontarkan Ikrar sebagai jawaban.
Talita menjauhi Ikrar, ia sembunyi di balik kursi. Talita mengintip Ikrar yang menatapnya penasaran.
"Ayo sayang, sini."
Ikrar merangkak pelan, matanya tetap melihat Talita. Sesekali air liurnya menetes membasahi pipi tembemnya.
Ikrar hampir sampai di tempat Talita. Tetapi, tiba-tiba saja Talita pindah. Sekali lagi, Ikrar merangkak."Iun! Iun!" seru Ikrar sembari tersenyum.
Ikrar merangkak lagi, kemudian berhenti. Ia mendudukkan dirinya. Ikrar tertawa sembari menepuk pahanya. Ikrar memiringkan kepalanya.
"Sayang sini," ucap Talita.
Ikrar tertawa lagi, ia merangkak. Tetapi bukan menghampiri Talita. Melainkan menghampiri kamar mendiang Lugu. Di kamar itu ada lemari penyimpanan baju-baju Lugu. Di situ juga ada sepatu-sepatu milik Lugu yang sering digunakan saat bekerja.
Talita terdiam, ia hanya melihat anaknya merangkak menuju pintu kamar. Talita baru menghampiri Ikrar, saat Ikrar memukul pintu kamar berkali-kali.
Talita membukakan pintu, kemudian menggendong Ikrar. Tiba-tiba Ikrar menangis, memukul tangan Talita. Terpaksa, Talita mendudukkan Ikrar.
Talita melihat anaknya merangkak lagi. Ikrar merangkak menuju pojok ruangan yang kosong.
"Ay! Ay!" Ikrar mengangguk, kemudian tertawa.
"Ada apa, sayangnya ibun?" tanya Talita khawatir.
"Ay! Ay!" ucap Ikrar sembari menunjuk pojok ruangan.
Talita menghampiri Ikrar, "Ada ayah?"
Bukannya menjawab, Ikrar tertawa sembari memiringkan kepalanya. Ia menunjuk pojok ruangan lagi.
"Ehehe, ay! Ay!"
Talita mengambil kotak yang berisi beberapa foto. Ia mengambil foto Lugu yang mengenakan pakaian dokter. Foto itu diambil saat Lugu berhasil menyelamatkan seorang pasien yang kritis.
Talita menyerahkan foto itu ke Ikrar. Ikrar tertawa lagi.
"Ay! Ay!"
Ikrar menunjuk pojok ruangan. Kemudian ia bertepuk tangan.
"Ay!" ucap Ikrar sembari menunjuk foto Lugu.
Deg
Rasanya jantung Talita berhenti berdetak. Talita tersenyum, ia menangis. Rindu yang selama ini ia pendam, kini mengalir satu per satu.
"Ada ayah, Nak?" tanya Talita bergetar karena tangis.
"Ay!" Ikrar mengangguk cepat.
Talita menangis keras. Anak sekecil Ikrar tidak mungkin berbohong. Lagi pula, anak sekecil Ikrar bisa melihat jin atau pun arwah.
"Ay!" teriak Ikrar sebelum tangis pecah. Ia memukul foto Lugu berulang kali.
Buru-buru Talita menggendong Ikrar dan membawanya pergi dari kamar itu. Ia mengusap air mata Ikrar yang tiada henti mengalir.
"Ay! Ay!"
Sudah beberapa kali Ikrar mengucapkan kata itu. Hingga ayah dan ibu datang pun masih mengucapkan itu.
"Ada apa, Nak?" tanya ibu khawatir.
Mereka terkejut melihat anak cucunya menangis.
"Lugu, Lugu ada di sini." Talita terisak.
"Tetapi, Lugu sudah meninggal, Nak," ucap ayah.
Talita mengangguk, mungkin anaknya hanya bermain saja. Talita menduduki sofa didampingi ibunya.
"Mungkin, Ikrar hanya bermain. Aku jadi mengira ada Lugu di sini," ucap Talita.
Ayah dan ibu mengangguk setuju. Lugu sudah tenang di alamnya, la tidak mempunyai masalah yang tertinggal di dunia.
Aku di sini.
Talita mengerjap. Ia mencari-cari sosok Lugu.
Aku mengunjungi anakku, Ikrar.
•••
Wuih, beneran Lugu datang?
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA IKRAR [Belum Revisi]
Teen FictionBEBERAPA PART DIHAPUS. [SEBELUM MEMBACA CINTA IKRAR, ALANGKAH BAIKNYA MEMBACA CINTA LUGU] Ikrar, yang dulunya sangat disayangi ibunya. Ikrar, remaja yang selalu dituntut terbaik oleh ibunya. Ikrar, remaja yang akan selalu menyayangi ibunya. Kasih...