"Nilai saya anjlok bener," ucap remaja yang sedari tadi duduk di pinggiran atap sekolah.
"Kok bisa?" tanya seorang remaja seumuran dengannya.
"Ya ... mungkin saya kurang tekun belajarnya. Mana ini matematika."
Tepukan mendarat di bahunya. Ia melirik orang yang tersenyum dengan tiba-tiba.
"Ikrar, ini 'kan cuma ulangan harian. Jadi santai aja," rayu Azek
Ikrar menghempaskan tangan Azek dari bahunya. Ia menatap tajam Azek.
"Saya bukan kamu, Azek. Saya dituntut untuk mempunyai nilai bagus," ucap Ikrar.
"Iya tau, lagian punya nyokap kok galak? Cuma masalah nilai aja, toh."
Ikrar menunduk, ia menghembuskan napas kasar. Dalam hatinya, ia ingin bebas dari tuntutan ibunya. Dulu, ibunya tidak seperti sekarang. Dulu ibunya tidak pernah menuntut sama sekali.
"Berhenti berkata ibu saya galak, Azek. Dia juga ibu kamu. Tetapi, kita dibesarkan dengan cara yang berbeda," ucap Ikrar tajam.
Azek menatap sendu saudara tirinya. Mungkin ini semua memang salah ayah dan dirinya karena datang di kehidupan Ikrar.
"Maaf."
Ikrar menoleh, "Untuk apa?"
"Maaf, jika kedatangan gue dan bokap gue nyusahin lo. Ngerebut nyokap lo dari lo," ucap Azek.
Ikrar menepuk punggung Azek, kemudian tangannya mengapit leher Azek. Tangan kirinya mengusap surai hitam adik tirinya.
"Ini bukan salah kamu. Mungkin semua sifat manusia bisa berbeda," ucap Ikrar menyemangati Azek.
Azek tersenyum lebar.
"Ya ... kalau begitu, ini saran gue. Mendingan lo les deh. Les satu mapel. Murah, kok. Per bulan lima puluh ribu," ujar Azek.
Ikrar menatap Azek berbinar. Sedangkan Azek memasang kuda-kuda karena akan ada hal yang membuatnya terjungkal.
Ikrar memeluk Azek dengan erat. Hingga yang dipeluk menepuk punggungnya berkali-kali.
"Bang, gue se-sek."
Ikrar langsung melepaskan pelukannya, ia menepuk punggung Azek. Azek mengatur deru napasnya.
"Maaf," ucap Ikrar terkekeh.
"Santai. Oh iya, gue punya kenalan guru les. Dia masih muda, ya ... kuliah mungkin," ucap Azek.
"Kamu tau contact-nya? Jika iya, saya minta."
Azek mengetik nomor di ponsel Ikrar. Lalu menyerahkan ponselnya begitu saja.
"Nih, namanya Aisyah," ucap Azek.
"Aisyah." Ikrar mengulang nama itu diiringi bibirnya membentuk lengkungan ke atas.
•••
"Bagaimana bisa nilai kamu anjlok begini, Ikrar!"
Ikrar hanya diam.
"Jawab pertanyaan ibun!" seru Talita.
Tidak, bagi Ikrar itu bukanlah pertanyaan. Tidak ada pertanyaan dengan nada membentak seperti itu. Yang Ikrar lakukan hanyalah menunduk sembari memainkan tangannya. Hal itu sudah biasa baginya.
Talita mencubit lengan Ikrar beberapa menit sehingga membuat kulit lengannya mengelupas. Itu sudah biasa bagi Ikrar.
Koleksi cubitan dari Talita masih ada sampai sekarang, di lengan bagian atas. Ini hanya sebuah cubitan, bukan pukulan.
"Ma-maaf, Bun. S-saya sudah be-berusaha," ucap Ikrar terbata-bata.
"Berusaha apa? Kalau berusaha bukan gini caranya! Berusaha kok enggak ada hasilnya!"
Ikrar diam, dalam hatinya ia ingin memberontak. Tetapi, itu bukanlah sifatnya.
"Ada apa ini?" Suara berat mengalihkan pembicaraan.
Ikrar menatap ayah tirinya yang meletakkan tas di sofa.
"Ini loh, Mas. Nilai matematika Ikrar jelek! Beda banget sama Azek," sinis Talita.
Rio---ayah tiri menghampiri Ikrar. Ia mengusap pucuk kepala Ikrar dengan lembut.
"Sudahlah, yang terpenting dia berusaha. Jangan kasar sama anak sendiri —"
"Tapi nilainya jelek, Mas."
Rio hanya menggelengkan kepala melihat tingkah istrinya. Tangannya masih mengusap pucuk kepala Ikrar.
"Jangan membedakan dua anak kita, Talita. Mas tidak suka. Berhenti berdebat tentang nilai. Mari kita makan bersama," ucap Rio berjalan menuju dapur.
Talita menatap tajam Ikrar membuat Ikrar menunduk. Kemudian ia pergi meninggalkan Ikrar.
"Kenapa berubah, Bun?" lirih Ikrar menatap punggung Talita.
•••
Kenapa berubah?
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA IKRAR [Belum Revisi]
Teen FictionBEBERAPA PART DIHAPUS. [SEBELUM MEMBACA CINTA IKRAR, ALANGKAH BAIKNYA MEMBACA CINTA LUGU] Ikrar, yang dulunya sangat disayangi ibunya. Ikrar, remaja yang selalu dituntut terbaik oleh ibunya. Ikrar, remaja yang akan selalu menyayangi ibunya. Kasih...