[4]

54 51 9
                                    

    Tidak ada kebahagiaan selain merasakan kemarahan ibun

     Ikrar mendengus kesal. Ia menatap ponselnya, ada nama Aisyah yang terpampang di ponselnya. Sesekali ia mencoba menelepon Aisyah, tetapi tidak diangkat sama sekali.

     Kemarin, Ikrar sudah membuat janji dengan Aisyah akan datang untuk memulai les.

    "Rumah warna hijau, pagar putih." Ikrar terus mengulang kalimat itu.

     Salah satu kebiasaan yang Ikrar punya adalah mengulang sebuah kalimat agar kalimat itu tidak hilang dari otaknya. Pelupa, itulah Ikrar.

      Ikrar mendesah lega ketika menemukan rumah dengan ciri-ciri yang sama. Ia turun dari motornya. Kemudian memasuki pelataran rumah itu.

     "Assalamualaikum," seru Ikrar.

     Tidak ada tanda-tanda pintu dibukakan dari dalam. Sehingga Ikrar terpaksa menggedor-gedor pintu rumah itu. Tidak sopan memang.

    Pintu perlahan terbuka, menampilkan seorang gadis dengan kerudung merah. Alisnya menukik tajam, tatapannya menyipit. Ia menatap Ikrar dari bawah hingga atas.

     "Siapa? Ada apa? Kenapa ke sini? Kalau ti —"

     "Ikrar. Les. Les," potong Ikrar.

     Gadis itu mengangguk mengerti, ia mempersilakan Ikrar masuk.

     "Mata pelajaran?"

      Ikrar tidak menjawab, ia hanya mengeluarkan buku bertuliskan matematika wajib. Ia menunjuk tulisan yang ada di buku.

     "Tinggal menjawab saja apa susahnya," cibir Aisyah.

      Ikrar hanya mengedikkan bahu. Ia merogoh dompetnya, mengeluarkan uang berwarna biru dengan nilai lima puluh ribu rupiah. Ikrar meletakkan uang itu di meja.

     "Apa yang tidak kamu mengerti di materi matematika?" tanya Aisyah sembari meletakkan  gadget.

      Lagi-lagi Ikrar tidak menjawab. Ia hanya menunjukkan salah satu materi di bukunya dan tugas dengan nilai berbentuk telur tetapi tidak bisa digoreng.

     Aisyah melongo, "Materi semudah ini, kamu tidak bisa?"

      Ikrar berdehem, ia duduk manis sembari memandang Aisyah. Aisyah yang dipandang seperti itu, salah tingkah.

     "Berhenti memandangku, dan ayo mulai lesnya. Waktunya dimulai dari sekarang sampai pukul enam sore."

     "Jangan ge-er. Hm," balas Ikrar cuek.

      Aisyah memendam kekesalan pada anak didiknya. Walaupun umurnya tidak jauh berbeda dengannya. Ia melampiaskan kekesalan dengan menulis beberapa soal untuk Ikrar.

      "Ini soal-soal coba kamu baca. Nanti aku akan memberikan materi sekalian menjawab soalnya," suruh Aisyah yang dibalas anggukan Ikrar.

      Ikrar mencoba memecahkan semua soal itu. Ia menulis beberapa angka dan rumus. Kemudian menyerahkan jawabannya ke Aisyah.

     "Kamu sudah mengerti, loh. Untuk apa kamu les?" tanya Aisyah.

      "Ada beberapa materi yang bisa membuat saya sakit kepala. Apalagi tentang statistika, bisa-bisa meledak kepala saya," ucap Ikrar.

      Aisyah terpelongo, baru kali ini remaja dihadapannya mengucapkan tujuh belas kata. Hingga lambaian tangan membuatnya tersadar.

      "Untuk materi selanjutnya, kita bisa membahas hari sabtu. Berhubung sekarang sudah melewati batas waktu, dan sudah azan magrib. Silakan kamu pulang dan pelajari dulu materi statistika."

      Ikrar melihat jam tangan, ia mengangguk. Kemudian membereskan beberapa buku. Ia tidak boleh pulang terlambat. Bisa-bisa cubitan dari Talita sebagai hadiahnya.

      "Saya pulang. Permisi, assalamualaikum."

     "Waalaikumsalam," balas Aisyah sembari tersenyum.

      Aisyah menatap punggung Ikrar yang sudah menjauh. Tatapannya berubah sendu, ia tadi sempat melihat beberapa memar dan kulit mengelupas di lengan Ikrar.

      "Ada apa dengannya?"

•••

      Ikrar memasuki rumah dengan tergesa-gesa. Jarak rumahnya dan rumah Aisyah sangatlah jauh. Bahkan Ikrar sampai melupakan makan malamnya.

      Ikrar naik ke lantai dua untuk pergi ke kamarnya. Tubuhnya terasa pegal. Tetapi, langkahnya berhenti ketika ibun memanggilnya.

     "Darimana kamu? Jam delapan malam baru pulang," tanya Talita.

     "M-maaf, Bun. Sa-saya bimbel," jawab Ikrar.

     "Sini."

     Ikrar menghampiri Talita, ia menggulung lengan jaketnya sampai siku. Lalu menyerahkan tangannya ke Talita.

     "Untuk apa?" tanya Talita bingung.

     "Ibun ... tidak mau mencubit saya? Saya sudah siap dicubit."

      Jawaban Ikrar membuat Talita termenung. Ia melihat bekas cubitan yang berwarna ungu kebiruan. Ia mengelus lengan Ikrar.

     "Maafin ibun, Nak."

     Ikrar mengangguk, "Kalau begitu. Boleh saya tidur? Capek."

      Sebelum Talita menjawab, Ikrar langsung pergi dari hadapannya dengan air mata yang terbendung.

     "Saya bahagia ketika merasakan kemarahanmu, Bun."

CINTA IKRAR [Belum Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang