[13]

35 27 10
                                    

    Beberapa permintaan Ikrar sudah terpenuhi. Kini, ada dua permintaan yang tersisa. Ikrar tersenyum sembari mencoret beberapa permintaan yang ia salin ke buku tulis.

     "Bun, doakan saya. Semoga saya lolos," ucap Ikrar sembari mencium tangan Talita.

     Talita mengangguk, mengusap surai hitam milik Ikrar. Di belakangnya ada Azek dan Rio menatap Ikrar.

     "Ibun selalu mendoakan yang terbaik untuk anak-anak ibun. Apa pun yang kamu inginkan, semoga Allah mengabulkan," ucap Talita.

     Ikrar mengangguk, "Amiin."

    Azek menghampiri Ikrar, ia melihat penampilan dengan memutari tubuh Ikrar. Ikrar yang dilihat seperti itu merasa risih. Ia menyentil dahi Azek.

      "Kamu sebenarnya mau apa?" tanya Ikrar.

     "Hm."

     Ikrar menjewer telinga Azek, "Ditanya jawab sesuai pertanyaan, bukan melenceng."

      Azek terkekeh pelan, "Abang tampan kalau kayak gini."

     Pipi Ikrar memerah, matanya berkedut. Bibirnya membentuk lengkungan ke atas. Ikrar mendengus, bisa-bisanya ia malu disaat seperti ini.

     "Sudah? Saya mau pergi, Dek," ucap Ikrar.

     Azek terkikik, "Iya-iya. Sana."

    Ikrar mencium tangan Rio, kemudian tersenyum. Ikrar berjalan pelan meninggalkan pelataran rumahnya.

•••

    "Halo, Iden," sapa Ikrar.

    Iden yang sedang duduk langsung berdiri menjabat tangan dengan Ikrar.

     "Halo juga Ikrar," balas Iden.

     "Belum mulai?" tanya Ikrar heran karena masih banyak yang menunggu.

    Baru saja Iden ingin menjawab, tetapi suara tanpa wujud menghentikan pembicaraan.

    "Untuk calon pramugara, dimohon hadir di ruangan seleksi. Terima kasih."

     Ikrar berdiri diikuti Iden, beberapa orang sudah berjalan meninggalkan ruang tunggu. Dengan gugup, Ikrar memasuki ruangan.

    Tersisa dua kursi untuknya dan Iden. Kursi itu berdampingan. Iden tertawa tanpa suara, ia menepuk punggung Ikrar.

    "Baiklah, sepertinya kita akan selalu berdampingan sampai kita bertugas nanti," ucap Iden.
   
    Ikrar tertawa, "Haha, tentu saja."

•••

     Saat ini mereka sedang berkumpul untuk tahap seleksi. Tahap seleksi ini ada tujuh tahap.

     Ikrar lolos dalam tahap pertama. Dengan tinggi badan seratus tujuh puluh enam sentimeter, berat badan ideal, gaya komunikasi, cara berjalan, dan pemeriksaan kulit.

      Kali ini ia berada ditahap kedua, kebanyakan orang gagal ditahap kedua. Dan lagi, lagi ia lolos tahap kedua. Dengan tes menggambar, kepribadian, bakat, dan bahasa Inggris.

    "Ubah dalam bahasa Inggris, mohon matikan seluruh elektronik pribadi," suruh seorang bapak berkulit putih dan memakai jas hitam.

     Dengan mantap Ikrar menjawab, "Yes, Sir. Please turn off all personal electronic devices."

   Orang itu mengangguk, "Finish."

     Ikrar maju pada tahap ketiga, di mana tahap ini adalah tahap interview user yang akan dilakukan oleh senior pramugara maskapai.

    Setelah mengikuti tahap keempat, kelima, dan keenam. Akhirnya Ikrar maju ke tahap ketujuh. Ikrar menatap beberapa jajaran direksi maskapai.

    "Datar banget," batin Ikrar.

     Ikrar mencoba tetap tenang. Ketika ditanya, Ikrar menjawab dengan sopan. Jajaran direksi tersebut tersenyum. Kemudian salah satu dari mereka menghampiri Ikrar dan berjabat tangan.

     "Selamat, kamu salah satu dari dua puluh orang yang lolos menjadi pramugara atau pun pramugari," ucap lelaki ber-name tag Alexander.

     Ikrar tersenyum bangga, hatinya lega sekarang. Perlahan ia mengangguk.

      "Kami harap satu hari berikutnya, kamu bersiap untuk tugas di Bussines Air. Jam kerja tidak menentu, jadi kami harap kamu selalu siap."

    Ikrar lagi-lagi tersenyum, "Terima kasih, Pak."

•••

Beri kritik saran kalian untuk Cinta Ikrar. Saya terima dengan baik.

CINTA IKRAR [Belum Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang