Selamat membaca
Alur kehidupan Ikrar
Sebelum tragedi.Ikrar menatap dirinya di cermin. Kemudian menatap memar-memar di lengannya. Ia mengelus memar-memar itu.
"Ini adalah tanda kasih sayang, untuk apa saya harus marah padanya?" tanya Ikrar pada dirinya sendiri.
Besok adalah ujian penentuan siapa yang akan lulus sekolah dan siapa yang tidak lulus sekolah. Kemudian tiga minggu lagi adalah kelulusannya.
Ikrar menghembuskan napas kasar, ia mengambil beberapa buku dan membawanya ke balkon kamar.
Sebenarnya Ikrar malam belajar untuk mata pelajaran yang satu ini. Tetapi, untuk membuat ibunya bangga Ikrar harus belajar dengan tekun.
"Matematika. Tidak bisakah kamu bekerja sama dengan otak saya?" tanya Ikrar pada bukunya.
Ikrar tertawa, bodohnya dia mengajak buku berbicara. Tidak ada untungnya. Ikrar mempelajari materi statistika, kemudian menuliskan soal latihan.
Otaknya harus berpikir keras untuk mencari jawabannya.
"Ah, x sama dengan lima puluh tujuh per sepuluh sama dengan lima koma tujuh."
Ikrar tersenyum lebar, ternyata statistika sangat mudah. Otaknya saja yang lambat dalam mencerna rumus.
Suara ketukan pintu mengalihkan perhatiannya. Ia membukakan pintu.
"Bang, dipanggil bokap nyokap. Kita makan bersama," ucap Azek.
Ikrar mengangguk, kemudian mengunci kamarnya. Memang, ketika Ikrar ingin pergi entah itu dalam rumah atau luar rumah. Ia selalu mengunci kamarnya.
Ikrar mengapit leher Azek dengan tangannya. Setelah itu menyeretnya ke ruang makan. Di sana sudah ada ayah dan ibunnya. Ikrar lebih memilih duduk berhadapan dengan Azek.
"Mari makan. Jangan lupa berdoa," ucap Rio sembari tersenyum.
Setelah berdoa, Ikrar ingin mengambil empal bumbu rendang yang terletak jauh darinya.
"Azek, tolong ambilkan empal itu," suruh Ikrar.
Azek menurutinya. Tetapi, sebelum Azek menyentuh wadahnya. Tangan lain sudah menyentuhnya dan memberikan ke Ikrar.
"Terima kasih ... Ibun." Ikrar tersenyum pahit.
Satu suapan, dua suapan, tiga suapan. Suapan keempat berhenti karena Rio menanyakan sesuatu padanya.
"Setelah lulus. Kamu mau lanjut sekolah di mana?" tanya Rio.
"Penerbangan."
Jawaban Ikrar membuat mereka terkejut. Azek menatap Ikrar tanpa berkedip. Ikrar mengusap sisa-sisa makanan yang ada di mulutnya.
Ikrar mengangkat alisnya dua kali, "Ada apa dengan wajah kalian?"
"Kenapa tidak sekolah lain saja? Bisakah tidak penerbangan, Nak?" tanya Talita.
Ikrar mengedikkan bahu, "Saya lebih suka sekolah penerbangan. Kenapa kalian seperti ... tidak setuju?"
Rio menghela napas, "Bukan tidak setuju. Kami takut terjadi sesuatu jika kamu memilih penerbangan. Kamu lupa? Beberapa hari lalu ada berita kecelakaan pesawat. Kami takut hal itu terjadi padamu, Nak."
Jawaban Rio membuat Ikrar tersenyum. Masih ada yang peduli dengannya.
"Saya sekolah penerbangan itu karena cita-cita saya. Semua profesi pasti ada resikonya. Saya belum tentu lulus di sekolah penerbangan," ucap Ikrar menenangkan.
"Jika lulus? Dan jika terjadi sesuatu?" tanya Azek.
Dengan senyuman tulus, "Jika lulus saya akan memumpuni profesi saya. Jika terjadi sesuatu, itu kehendak Allah —"
Ikrar berdiri.
"Saya permisi. Mau belajar."
•••
Ikrar menikmati semilir angin di balkon kamarnya. Pintu kamarnya sudah ia kunci, pertanda ia tidak mau diganggu. Ikrar memejamkan mata.
"Sejak menikah dengan dia. Ibun berubah, tapi ... enggak apa-apa. Selagi ibu bahagia dengan dia, saya juga bahagia."
Ikrar mengambil gitar kesayangannya. Ia ingin melepaskan penat dengan alunan gitar.
Ayy
Simjangi ttwiji anhneundae
Deoneun eumageul deureul ttae
Tryna pull up
Sigani meomchun deushae
Oh that would be my first death
I've been always afraid of
Ikrar berhenti bernyanyi, ia menatap ke bawah. Seseorang yang tiba-tiba naik pagar dan bersembunyi dibalik dinding rumah.
"Hei! Siapa kau!"
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA IKRAR [Belum Revisi]
Teen FictionBEBERAPA PART DIHAPUS. [SEBELUM MEMBACA CINTA IKRAR, ALANGKAH BAIKNYA MEMBACA CINTA LUGU] Ikrar, yang dulunya sangat disayangi ibunya. Ikrar, remaja yang selalu dituntut terbaik oleh ibunya. Ikrar, remaja yang akan selalu menyayangi ibunya. Kasih...