Kesekian Kalinya, Terpana

39 5 4
                                    

Februari, 2017

Semakin terik sinar mentari, makin banyak mahasiswa yang menghambur di selasar gedung kampus. Sebagian besar kelaparan, butuh makan. Segelintir lain, perlu rehat akibat mata kuliah yang terlampau padat. Begitu pula Raksabumi Anjani, mahasiswi semester dua yang tanpa seorang pun sadari, tengah menyegarkan kedua netranya dengan memandangi pemuda rupawan berpostur tinggi-tegap. Perempuan itu terpana, menatap manusia tampan penuh pesona yang berdiri jauh berseberangan dengan tempat ia berpijak. Kolam air mancur besar yang rintik demi rintik airnya menyembur memenuhi udara turut menambah kesan romantis nan dramatis itu.

Jani, begitu ia disebut. Deru napasnya tertahan bahkan denyut jantung terpacu cepat. Suara dalam sanubari pun berujar, "Wah tenyata dia--"

"--manis," lanjut pita suaranya.

"Apa?" sahut gadis berkepala serupa telur. "Lu mau makanan manis?"

Menyebabkan gadis berhidung lancip menimpali, "Gue mau yang pedes."

Jani tercenung. Sekian detik seusainya, menyisir sekeliling. Belum sempat mengelak, gadis berkepala telur menyeretnya pergi dari depan gedung utama.

"Gue mau pesen seblak," tutur gadis berhidung lancip kala ketiganya sampai di kantin utama.

Lantas sosok gadis itu lenyap, tertelan ramainya sederet manusia di kantin utama. Gadis berkepala telur melempar pandang ke arah Anjani, sorot mata dramatis ia layangkan. Seolah-olah keduanya saling bicara tanpa suara. Jani menggeleng kala lawan telepatinya mengangguk--tenyata mereka tidak satu visi.

"Gue ke kedai Tata Boga aja," putus Jani.

Keputusannya membuat sang rekan berkedip memelas. Bak dilanda kebimbangan luar biasa, gadis itu memajukan bibir, menghela napas, sampai kemudian kembali menatap Jani dalam-dalam.

Jani menggeleng lagi seraya berkata, "Sab, gue nggak suka ngantri, asli."

Kembali, perempuan yang disebut 'Sab' menurunkan kedua sudut bibir. Usai menarik napas berat, ia kemudian menelusup masuk ke dalam kerumunan. Menyisakan Anjani yang tanpa berlama-lama, melesat menjejaki jalan setapak menuju gedung fakultas teknik.

Raksabumi Anjani bukan hanya gadis termasa-bodoh sekaligus tercuek di masa sekolahnya dahulu, tetapi dia pun orang paling apatis dalam konteks kehidupan sosial. Menemukan dirinya berjalan melintasi segerombol mahasiswa teknik yang tampangnya cukup seram, pun beberapa di antaranya tampan, tak membuat Jani merasa sungkan.

Mantra yang ada di kepalanya hanyalah; tenang aja, nggak ada yang merhatiin lo karena pada sibuk sama urusannya.

Satu kalimat yang cukup efektif menambah keberanian serta keapatisannya.

"Jani!"

Selaras dengan mantra yang dituturkan pada dirinya, Jani menjadi kian tak peduli dengan keadaan sekitar sampai-sampai melupakan fungsi panca indranya. Gadis itu akan mengabaikan segala hal yang menghambat perjalanan, sebab prioritas utama hanyalah mencapai tempat tujuan.

"Anjani!"

Langkah Jani terhenti sebab fungsi panca indranya mendadak kembali. Gadis berparas manis tersebut menoleh ke sana-kemari, mencari sumber suara. Sinar matanya memudar ketika bertemu pandang dengan manusia yang memanggilnya.

Tak jauh dari lorong tempat Jani berjalan, pria berwajah tegas bangkit dari kursi yang berada di tengah lobi. Orang itu meletakkan laptopnya, lalu menghampiri Jani dengan tergesa.

Ia menyerahkan selembar kertas berikut dengan kartu kredit ke tangan Anjani ketika mereka sudah saling berhadapan. Lantas berujar cepat, "Lo belanja, gue ada rapat mendadak."

Sampai JumpaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang