🕊️SEBUAH RASA🕊️

8 7 1
                                    

A story by : Desi Tiara Sari
desytiara12


Siang itu, saat aku pulang dari kuliah mataku tak sengaja menangkap pemandangan yang langka. Sosok laki-laki yang mengenakan setelan kaus hitam itu tengah menggendong bayi mungil yang aku perkirakan masih berusia tiga atau empat bulan. Tidak kusangka, laki-laki yang selalu menatap sinis siswi  yang ceroboh dikampus itu, kini seperti sosok ayah. Manis sekali.

Namun tak lama bayi yang nampak anteng itu menangis kencang. Aku sampai menghentikan langkahku karena terkejut. Entah keberanian dari mana aku menghampiri laki-laki itu dan mencoba menenangkan si bayi. Dia nampak terkejut dengan apa yang aku lakukan. Begitupun aku. Ketika aku sadar aku segera bangkit dan meminta maaf. Namun belum saja aku berhasil lari, sebelah tanganku dicekal olehnya. Jantungku berdegub tak karuan. Didalam otaku sudah ada banyak bayangan amarah yang laki-laki itu keluarkan seperti biasa.

“Tunggu,” ucapnya.

Aku memutar arah menghadap kearahnya dan terkekeh canggung.

“Maaf, Kak, soalnya tadi takut bayinya kenapa-kenapa.”

“Jadi lo mikir bayi ini abis gue apa-apain?” tanyanya sembari menaikan satu alisanya. Terlihat menakutkan tapi ganteng. Aku jadi serba salah dibuatnya. Akhirnya aku hanya bisa diam tak berkutik.

“Lo tau cara ngasih minum bayi?”

Aku terkejut dengan pertanyaan yang baru saja dia lontarkan. Tak salah dengar, kah? Nada sangar yang menakutkan tadi berganti dengan nada lembut penuh pengharapan. Aku memberanikan diri mendongak menatap si bayi, tak mungkin menatapnya. Aku terlalu takut.

Sebenarnya aku bisa memberi minum bayi, tapi jika tatapan mata laki-laki itu tetap seperti menghunus aku takut jika hal itu membuat kesalahan fatal. Yang malah akan menimbulkan amarah darinya.

Tapi raguku segera ku tepis karena si bayi terus saja menangis. Pelan, kuangkat dot dan menempelkannya pada bibir mungil bayi. Sangat menggemaskan, aku tersenyum simpul sembari mencubit gembul pipinya.

“Nggak usah pegang-pegang, tangan lo nggak steril,” ucapnya sarkas.

Senyumku luntur bersamaan dengan turunnya tanganku dari pipi si bayi. “Pelit banget,” gerutuku pelan.

Setelah selesai, kuraih kain gendong yang teronggok disamping Tian, cowok dengan tatapan elang yang masih mengawasi gerak gerikku. Selanjutnya kain itu kugunakan untuk mengelap bibir si bayi.

Ada satu hal yang berputar diotakku, ingin bertanya tapi ragu. Tapi jika tidak, aku bisa dihantui rasa penasaran.

“Ngapain bengong?”

Aku terkesiap, wajah cengoku segera kunetralkan kembali. Ragu, aku bergumam sebelum bertanya. “Itu ... kenapa nggak ibunya aja yang minumin susunya kalo kakak ngga bisa?”

“Ibunya ngga ada.”

“Ke mana?”

“Meninggal.”

Mulutku seketika terkatup sangking terkejutnya. Kulihat lagi si bayi mungil. Kasihan, masih kecil sudah menjadi piatu.

“Maaf,” lirihku. Tak ada jawaban, hanya tatapan kosong Tian yang mengarah pada bayi itu. Entah apa yang dipikirkan dirinya saat ini namun dari tatapannya terlihat sendu.

Mulutku kembali ingin terbuka untuk bertanya tapi kututup kembali. Rasanya banyak bertanya pada Tian bukanlah hal yang bagus, apalagi anak itu sangat sentimen. Saat ini untung-untungan saja aku bisa berada di dekatnya.

“Emh, ya sudah, Kak, aku pamit pulang, udah selesai, kan?”

Dia mengangguk tanpa mengalihkan perhatiannya dari bayi. Aku berdiri dan mematung sejenak di depannya. Lalu kuhembuskan nafas lelah. Untuk apa mengharapkan seorang Tian mengucapkan terima kasih, mustahil sekali.

CERPENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang