KELOMPOK 2
"Ih, sok puitis banget sih lo?! Nggak jelas tau, nggak!" cibir dan balas Ria pada puisiku yang aku pampang di status WhatsApp.
Aku hanya bisa berdiam diri, sebab jika kubalas dan lanjutkan, mungkin konflik akan berkepanjangan sudah.
Thessalonika Wita Jeje, itulah namaku, seorang remaja perempuan yang cinta dunia literasi, cinta akan kedamaian namun tidak dengan kekeluargaan. Aku terjebak dalam dunia kelam, broken home telah kualami sejak dini. Dibesarkan oleh kekasaran, dibimbing oleh celoteh ayah bunda, sudah kurasa sejak umur belum menua.
Ah, mungkin kalian akan berpendapat, "Cuma segitu! Nggak ada apa-apanya daripada yang gua rasain."
Aku tau, yang aku rasakan kini belum sebanding dengan orang di luaran sana. Tapi, setiap orang berbeda, ada yang hanya kuat makan satu porsi. Ada juga yang kuat makan beribu-ribu porsi.
"Pantengin aja terus handphonenya. Tiap hari kerjaannya gitu mulu, tetep aja nggak ada hasil, percuma tau nggak kamu bisa hidup, huh!" celoteh ibuku, tangannya tak diam, merapikan rak piring dengan kasar.
Ya, terkadang yang menjatuhkan mental kita bukan hanya teman. Orang yang paling dianggap dekat, juga sama halnya.
"Maaf, Bu." Aku meminta maaf pada ibuku setelah aku mendengar ucapannya barusan tadi, aku tau kadang ibuku sering membanding-bandingkan aku dengan anak tetangga.
Aku benci ketika harus dibanding-bandingkan, menurutku ibuku tidak pernah menghargai usahaku sendiri. Tapi sedikitpun tidak pernah ibuku memuji atas keberhasilanku, bahkan yang aku dapatkan ketika aku mendapat suatu kesalahan hanyalah suara marah ibu.
Jangan tanya bagaimana perasaaku, perasaanku begitu sakit apalagi yang sering memarahiku ibuku sendiri.
Hari ini dimana aku akan mengikuti lomba cipta puisi tingkat kabupaten, aku mewakili sekolahku, awalnya aku sudah menolaknya karena aku takut mengecewakan pihak sekolah, tapi karena bujukan dari mereka semua, akhirnya aku setuju.
Tiba saatnya pengumuman juara cipta puisi tinggkat kabupaten ini, namaku tak kunjung di panggil, rasa gelisah, takut, yang sudah tercampur aduk. Aku takut jika aku mengecewakan mereka yang telah mempercayai diriku.
Ketakutan yang kupikirkan kini menjadi kenyataan pahit yang harus kuterima. Benar dugaanku, aku tak memenangkan perlombaan yang kuikuti. Rasa sesal dan kecewa pada diri sendiri kian merundung.
"Gue heran aja sama guru, kok bisa nyuruh lu buat ikut lomba," cibir teman satu angkatanku. Ria namanya.
"Kaya gaada murid lain aja," timpal temannya.
Ini yang kutakutkan, mereka yang benci denganku akan menjadi lebih anarkis. Mencibir tanpa memikirkan psikologis seseorang dengan cibiran yang cenderung dinamis. Teman yang seharusnya saling mendukung malah merusak psikis dan fisik.
"Pilunya hatiku di saat aku mendengarkan perkataan itu," lirihku.
Dia boleh menghina aku sepuasnya, karena kuyakin suatu saat pasti kubuktikan bahwa aku pasti bisa.
Dari kejauhan ada seorang cowok bertubuh jangkung, dengan rambut agak cepak mendatangi kami bertiga.
"Hai, kamu yang namanya Thesa, bukan?" tanya cowok itu, menunjuk kearahku.
Waktu itu aku merasa kaget karena dia tau namaku, tapi aku tetap menampilkan senyum kepadanya. "Iya benar, aku Thesa," jawabku.
Aku kaget saat dia menarik lenganku, menjauh dari kedua temanku itu. "Eh, mau ke mana?" tanyaku kaget.