KELOMPOK 3
Tidak ada senyum ataupun tawa. Hanya ada dentingan sendok dalam lingkaran keluarga. Keluarga? Pantaskah disebut sebuah keluarga? Jika di dalamnya hanya ada keheningan tanpa kehangatan.
"Sela udah selesai." Gadis cantik itu langsung bangkit tanpa mengucap 'selamat malam' atau apapun.
Namun, siapa yang peduli? Bahkan kedua insan itu tetap melanjutkan makan malamnya.
"Bahkan buat ngelirik aku aja seakan susah, ya, Mah? Pah ...."
Frisela Maharani, gadis berusia 16 tahun dengan paras cantik nan anggun. Terlahir di tengah-tengah keluarga yang lengkap dan berkecukupan. Namun, kasih sayang dan komunikasi itu tidak pernah terjalin.
"Aku mau kaya yang lain, bercanda bareng sama mamah papahnya."
Apa gunanya rumah besar jika hening?
Sela melipat kakinya, memangku laptop dan kembali mengetik menyelesaikan tugasnya.
"Andai aku boleh minta sama Tuhan. Aku mau tahun ini spesial, aku mau keluarga aku sama kaya yang lain .... sebelum mereka tahu kalo aku nggak baik-baik aja."
. . . . .
"Pagi, Bi."
"Pagi, Non."
Sela meletakan tasnya dimeja. Membantu Bi Marni memotong motong sayuran, kemudian memasaknya.
"Bi, rasa masakan mamah kaya apa yah ...." Marni tersenyum, dibelinya surai hitam itu. Marni sangat menyayangi Sela seperti anaknya sendiri.
"Pasti enak."
"Udah jam enam, Sela berangkat ,yah."
"Bekelnya." Sela mengambil kotak makan berwarna ungu tersebut. Memasukannya kedalam ransel dan menggendongnya.
"Sela berangkat, Bi, assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
"Mau ke mana kamu?" Sela menghentikan langkahnya. Ia melihat mamah dan papahnya yang sedang menuruni tangga.
"Duduk dan sarapan."
"Nggak bisa. Aku udah telat."
"Duduk dan sarapan Frisela!" Sela langsung mengambil tempat duduk di seberang mamahnya. Memakan makanannya tanpa mengangkat kepala sedikit pun.
"Aku udah selesai. Makasih sarapannya, assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Sela menaiki angkutan umum untuk menuju sekolahnya. Tidak terlalu jauh, hanya 15 menit untuk ditempuh.
Ia akan ke perpus baru ke kelas. Itulah caranya menghabiskan waktu tanpa seorang teman.
. . . . .
Tidak terasa bel masuk telah berbunyi. Buru-buru Sela keluar dari perpustakaan lalu melangkahkan kaki menuju kelasnya yang berada di lantai dua.
Sela bernafas lega ketika pak Rahmat belum datang. Ia pun masuk ke dalam kelas lalu duduk di kursi paling belakang, dekat jendela.
Pak Rahmat datang. Ia menaruh bukunya lalu duduk di kursi guru. Pelajaran pun dimulai, semua murid menyimak materi yang disampaikan oleh pak Rahmat.
Tiga jam kemudian, bel istirahat pun berbunyi. Anak-anak sudah diperbolehkan untuk istirahat.
Sela mengeluarkan bekal yang ia bawa dari dalam tasnya. Seperti biasa, ia akan makan sendiri di dalam kelas.
Semua teman-temannya yang lain telah keluar dari kelas. Hanya tersisa dirinya dan geng Chintya.