Entah sudah berapa kali Jennie mengembuskan napas kasar sambil berbaring di atas ranjang. Sangat sulit untuk menutup mata akibat beban pikiran.
Surat itu, Nana, dan Dadang adalah masalahnya sekarang yang membuatnya sulit sekali menutup mata.
Jennie sudah mengubah posisi tidurnya, tapi tetap saja ia tak kunjung tidur. Sial! Jennie perlu teman curhat.
Reza! Hanya adiknya itulah satu-satunya harapan untuk melampiaskannya beban pikirannya. Untuk itu Jennie segera beranjak dari kasur dan melangkah cepat menuju kamar adiknya itu.
Semoga saja adiknya itu ada di rumah. Biasanya jam sore seperti ini, Reza akan pergi bermain ke rumah temannya.
Jennie telah sampai di depan pintu kamar Reza kemudian tanpa mengetuk ia langsung masuk. Sudah jadi kebiasaan memang.
Reza yang asik rebahan sambil nonton youtube di leptop langsung mengalihkan pandangan saat mendengar pintu terbuka.
Jennie berjalan dengan lesu kemudian langsung mengambrukkan badan di samping Reza dengan posisi telentang. Lengan kanan ia letakkan di atas dahi, matanya menatap langit-langit kamar Reza.
Reza menutup leptop dan ikut rebahan di samping Jennie dengan posisi yang sama dan menatap langit-langit.
"Mau curhat tentang apa lagi?" tanya Reza seakan dapat membaca pikiran Jennie.
Jennie memejamkan mata sejenak lalu mengembuskan napas perlahan. "Surat itu masih neror gue," katanya pelan.
Reza mengangguk mengerti, dia menunggu perkataan Jennie selanjutnya. "Apa lo dapet petunjuk, siapa yang ngirim?" Reza menoleh sekilas.
Jennie mengangguk. "Iya dan gue pasti bakal tahu siapa pengirimnya itu besok."
"Baguslah kalau gitu. Pasti pengirimnya orang masa lalu lo, Kak."
Jennie menggidikkan bahu. "Entahlah. Kurang kerjaan juga tuh orang. Ngapain coba ngirim surat kek gitu segala, kenapa enggak langsung hadepin aja gue?"
"Mungkin dia pingin ngetes lo, Kak."
"Ngetes? Memangnya gue lagi ikut ulangan sama dia? Memangnya gue kelinci percobaan dia?" Jennie berkata dengan nada ketus yang kentara.
"Ya, siapa tahu, kan? Lagian, kenapa, sih, lo kok gampang emosian? Ohya, tadi gue liat keknya lo sama calon ipar gue berantem, ya?"
Jennie mengangkat satu alis. Calon ipar? Siapa? Ingatannya tertuju pada kejadian saat pulang sekolah tadi. Pasti Reza sedang bertanya soal Dadang. Jennie langsung berdecak.
"Jangan harap si, Ojol Playboy, itu jadi ipar lo! Enggak sudi gue!" Jennie memejamkan mata, napasnya mulai teratur.
Reza mengangguk. "Kenapa lo berantem sama dia, Kak?"
"Kepo lo."
"Seriusan deh. Gue enggak mau hubungan lo sama dia renggang, Kak."
Jennie membuka mata, dia menoleh dengan satu alis terangkat. "Kenapa? Lo pingin gue jadian sama dia, terus gue bakal mati-matian nahan cemburu setiap ngeliat dia sama cewek-ceweknya? Itu yang lo mau?" tanyanya agak ketus.
"Gue yakin, Kak. Dia yang jadi jodoh lo." Reza menyengir saat Jennie menatapnya dengan bengis.
Jennie menatap langit-langit lagi kemudian membuang napas dengan kasar. "Gue mau jaga jarak aja sama dia karena gue belum tahu dia itu jomblo atau playboy. Gue takut aja, dia itu playboy dan gue malah terjerat kalau gue masih deket sama dia."
"Tinggal tanya aja sama orangnya."
"Udah. Masalahnya gue enggak percaya sama omongan dia."
"Yaudah, tanya ceweknya dia yang menurut lo itu pacarnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aplikasi Cinta [ Up Sesuka Hati ]
HumorAWAS BAPER! #Ojolstory# [Follow akun ini, ye, biar nyaman kita, Bre.] Romance - comedy - sad Bukan cerita anak geng yang isinya cogan dan tawuran, tetapi hanya sebuah kisah si tomboy dalam memecahkan masalah hidupnya yang runyam minta digaplok. Apa...