"Jaehyun."
Doyoung kembali bersuara setelah sekian lama keduanya terdiam, maksud ingin segera tidur karena jarum pendek pada jam di atas nakas sudah berhenti di angka 12 pun jarum satunya sudah terkulai di angka 4. Hanya saja malam ini, Doyoung ingin memulai sebuah percakapan yang sedikit lebih kompleks dari yang sudah-sudah. Bukannya apa, setelah Doyoung menjawab ajakan Jaehyun untuk menjalin hubungan yang katanya selalu menyenangkan itu—salah satu pelayan datang dan mengatakan kalau tuan Yunho memintanya untuk pergi ke kamar beliau.
Seusai bercerita panjang bersama tuan Yunho di balkon kamar beliau dan meninggalkan Jaehyun sendirian di kamarnya—karena dia harus mengerjakan tugasnya, Doyoung jadi tahu lebih banyak tentang Jaehyun. Meski ayahnya yang bercerita, tak dimungkiri rasa hangatnya terasa familiar seperti saat Jaehyun yang bercerita.
"Hmm? Ada apa, Doie?" sahut Jaehyun seadanya, matanya sedang sibuk menerawang jauh ke luar jendela. Menilik nabastala yang kian muram, yang nampaknya akan menumpahkan air matanya sebentar lagi.
Si pemuda Kim menghembuskan napasnya sebelum menekan ujung pena, mengurungkan niat untuk mengisi lembar lain dengan puisi baru. "Hmm, tidak. Tidak jadi," balasnya asal. Selanjutnya, terdengar bunyi decitan dan tepukan keras pada bantal.
Jaehyun yang mendengar itu hanya mampu tertawa geli. Apa-apaan itu? Doyoungnya terdengar tidak bersemangat dan kesal, bahkan sesudah salah satu impiannya—mendapat status baru bersamanya yang telah berhasil disematkan. Layar ponselnya masih menyala dengan cahaya yang redup, layaknya kedua kepingan indahnya yang ingin menutup dengan segera. Banyaknya tugas yang diberikan oleh guru-gurunya menjadi salah satu alasan mengapa ia merasa sangat lelah hari ini.
"Hei, ada apa? Kau yang meninggalkanku lalu pergi bercerita bersama ayah, tapi sekarang kau juga yang bersikap menyebalkan," celetuk si pemuda Jung tanpa ragu, berencana membuat kekasih manisnya itu agar merasa lebih kesal.
"Kau yang menyebalkan, Jaehyun. Kau tidak mengajakku bicara padahal aku sudah berusaha kembali secepat yang aku bisa agar bisa menemanimu," kilah Doyoung dari atas sana, di susul dengan umpatan-umpatan bernada rendah yang masih dapat ditangkap oleh telinga Jaehyun.
"Tapi kau malah asyik berkutik dengan ponselmu."
Tak henti-hentinya Jaehyun dibuat gemas oleh tingkah Doyoung. Entah kenapa selalu saja terlihat begitu walau Doyoung tengah benar-benar marah sekalipun, akan tetap menggemaskan. Kemudian, Jaehyun bangkit dari posisi tidurnya dan mengulum senyum sebelum beralih menaiki tangga yang berada di samping kirinya.
"Hei! Apa yang—"
"Shh, tenanglah, Doie. Aku bukan penjahat," ingat Jaehyun sembari terkekeh, sebelah tangannya menepuk-nepuk puncak kepala Doyoung sesudah ia membenarkan posisi tidurnya lagi.
Buku biru dan penanya tersisa di sana, teronggok dalam pelukan sang pemilik dengan lampu tidur yang masih menyala. Jaehyun penasaran, apakah Doyoung sudah menulis puisi lagi hari ini?
"Apa kau sudah berhasil menulis puisi hari ini?" tanya Jaehyun berbisik, hanya mampu menahan senyumannya sambil menatap nanar helaian hitam Doyoung.
Kalau Doyoung berbalik, mungkin wajah mereka akan sangat dekat. Nyaris tidak akan ada jarak yang tersisa, mengingat seberapa sisa jarak ranjang ini bila telah di isi oleh dua orang. Jaehyun memeluk tubuh Doyoung yang terasa begitu mungil, namun sangat hangat. Akan terus dan selalu seperti itu. Seolah dirinya tengah memeluk sesuatu, yang takkan pernah pergi dan setia menemaninya. Hangatnya yang menenangkan, seperti rumah.
Jaehyun mendapat gelengan kecil dari sang kekasih, otomatis membuat senyumnya makin lebar. Hembusan napas hangatnya menyapu sekitar leher si pemuda Kim, tangan si pemuda Jung melingkar di pinggang rampingnya pula.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amorist ; ᴊᴀᴇᴅᴏ
Fanfic[Poetry, Romance, School Life, Short Story] When someone wants to be a writer, but he falls in love before that. • Completed • BxB / Yaoi / Homo / Gay • Bahasa baku • Hope you enjoy it, don't forget to vote and comment. Thank you! • Don't like, don'...