Chapter 6: Our Shared Secret

1.5K 306 113
                                    

You might be wondering: apakah ini cerita soal pernikahan? Bisa iya dan tidak. Tapi intinya bukan soal tiba-tiba nikah.

Aku memilih untuk pakai Ken dan Gio menyampaikan sesuatu. A relationship through process. So, we're taking another path. Buat yang belakangan baca cerita aku, mungkin udah biasa sama slow burn. Lebih asyik yang lambat tapi bikin hanyut, cia.
So, selamat membaca~

 So, selamat membaca~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-

Kenizia

Kedatangan Gio disambut orangtuaku layaknya kepulangan anak sendiri.

Biar kukoreksi. Sebenarnya tiap aku pulang nggak pernah dipeluk-peluk sih. Bunda sama Ayah juga nggak pernah liwetan. I'm back, and that's it.

Yah, masalah liwetan ini memang kebetulan. Pagi ini Ayah bilang mau makan nasi liwet, dan Bunda langsung mengiakan. Untuk itu juga aku berkutat dengan santan sementara masih mengenakan piyama. And, yes, Gio juga melihatku masih dengan baju tidur itu. Setelah dia datang, Bunda langsung menyuruhku mandi dulu sebelum kembali membantunya di dapur.

Kami hanya makan berempat, tapi obrolan yang terjadi terasa seperti ada puluhan orang di teras belakang—yes, kami liwetan di sana—dan Gio lebih banyak mengobrol dengan Ayah dan Bunda ketimbang aku. Rasanya justru akulah tamu di sini.

"Ai kamu teu lieur jadi dokter lama kitu, Yo?" tanya Ayah dengan percampuran bahasa Indonesia dan Sunda.

"Jadi dokter mah udah, Yah. Tinggal nyelesaiin spesialis aja," sahut Gio sambil tertawa. Dia terlihat santai sekaligus menikmati keberadaannya di antara orangtuaku. Yah, it's just him being himself. Sayangnya aku nggak bisa berhenti waswas. Entah kapan mulutnya itu bisa mengeluarkan hal ajaib lainnya. "Semoga tahun ini selesai."

"Amin," Bunda langsung mengamini. "Tapi, terbayarlah kuliah lama-lama. Pekerjaannya kan bagus. Coba kalau Ken jadi dokter juga ya."

"Ulah ah*, Bun. Dia mah bosenan. Kumaha mun pasienna diomelan wae?**" ledek Ayah, dan ketiganya langsung tertawa. Semuanya, kecuali aku yang memberengut di tempat.

Gio melempar pandangannya ke arahku. "Ken tapi ngomel-ngomel juga bagus kok, Yah. Buat ngingetin orang gitu."

"Sering diomelin juga ya?" tanya Ayah, dan Gio mengangguk enteng. Aku langsung memelototinya, membuat gelak tawanya lebih keras.

Untungnya, selama makan obrolan yang terjadi cukup standar. Ayah dan Bunda banyak bertanya tentang kegiatan dan pendidikan Gio. Jawaban yang dia berikan juga sesuai dengan apa yang ditanyakan, which is good. Mungkin aku bisa sedikit menurunkan keawasanku. Berjaga-jaga nyatanya membutuhkan tenaga.

"Jadi, lagi dekat sama siapa, Yo? Ada niatan mau nyusul Risa sama Adit?"

Astaga! Kenapa tiba-tiba sih? Aku yang baru saja minum teh manis langsung tersedak. Kupukul dadaku pelan, sementara Ayah yang ada di sampingku langsung menoleh bingung. "Bisa-bisanya keselek teh, Ken."

Mismatch (✓) Sudah TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang