Chapter 4: Surprise! You'll Be Mine

1.6K 332 112
                                    

Selamat malam minggu. Kita isi sama sesuatu yuk? 🌝

P.s: ini jadinya apdet tiap weekend, entah hari apa. Pokoknya yah gitu deh. Gitu. 🙊

 🙊

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-

Kenizia

Seingatku, terakhir kali aku ambil bagian dalam upacara pernikahan kurang lebih 17 tahun yang lalu. Sebagai anak bocah yang hanya mengiakan permintaan om dan tantenya, tugas menjadi seorang penabur bunga bukan perkara berat.

Yah, kalau dipikirkan sekarang mungkin akan terasa begitu. Nyatanya, apa yang kulakukan sewaktu kecil belum ada apa-apanya ketimbang menjadi bridesmaid. Not that I'm complaning, though. Menjadi bagian dari hari besar seorang sahabat jelas sebuah pencapaian dan pengalaman tak tergantikan. Begitu pun tingkat kesulitannya. Meskipun sudah gladi resik kemarin, ternyata semua itu nggak sebanding dengan hari pelaksanaannya.

Dari pukul tujuh pagi, Gio sudah menjemputku di apartemen untuk berangkat dan bersiap-siap. Kami memutuskan berkunjung ke drive-tru demi pengganjal perut, sebelum melanjutkan ke lokasi resepsi. Ruangan memang sudah rapi, tapi nggak dengan para partisipan. Untuk berdandan saja butuh waktu lebih lama daripada mendekorasi tempat, dan aku seperti menangis tiga kali karena riasan di mata.

Tolong ya, nggak semua perempuan terbiasa mendapatkan ujung pensil digariskan ke waterline mata mereka. Aku salah satunya. Benar-benar siksaan. Definisi cantik itu menyakitkan mungkin ya? Walaupun kurang nyaman, hasilnya ternyata nggak sia-sia. Semua riasan yang melekat di wajahku hari ini benar-benar membuatku pantas menjadi seorang bridesmaid. Mana bisa aku tampil biasa saja sementara mempelainya kelihatan paripurna?

Cengiranku melebar begitu melihat Risa duduk di sofa, gaunnya memakan tempat sofa yang seharusnya bisa ditempati tiga orang. Berbeda dengan aku yang tersenyum, Risa justru memanggilku dengan suara yang bergetar.

"E-eh, Ris. Jangan nangis dong, make up lo," aku mencoba memperingati, tapi dia tetap saja menangis sembari mencengkeram tanganku.

"Astaga, Mas Ber, maaf ya. Gue nggak tahan," Risa menyebut nama make up artist yang dia sewa hari ini. Berto, yang tengah merias keponakan Risa hanya bisa geleng-geleng, meskipun akhirnya memanggut paham.

"Make up-nya waterproof kok," ujarnya santai. "Nanti gue touch up lagi. Jangan banjir tapi ye?"

Di tengah tangisannya, Risa sempat terkekeh. Dia sempat menghela napas beberapa kali sebelum menatapku, tangannya memegang kedua tanganku erat. "I can't believe I will become his wife soon."

"You deserve it, Ris. Percaya deh," aku balik mencengkeram tangannya, berusaha menguatkan. "Gue yakin lo bakal jadi istri dan ibu yang keren parah."

"Duh, lo jangan bikin gue makin mau nangis dong!" Dia malah protes

Nggak biasanya Risa gampang menangis. Malah, ketimbang aku dan Melissa, dia yang paling jarang meneteskan air mata setiap kali kami binge watching film yang sedih. Heck, orang yang nggak nangis sewaktu menonton Spirited Away atau Howl's Moving Castle itu patut diacungi jempol. Namun, ternyata sekarang Risa masih menangis, walaupun aku tahu air matanya ini sama sekali bukan menyiratkan kesedihan.

Mismatch (✓) Sudah TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang