Sudah 30 menit terlewat dan sekarang Hyunjin sudah berhenti menangis.
"Jangan dipaksa kalo ga mau cerita, kak."
Hyunjin menggeleng.
"Ayo masuk, harusnya aku bikin teh."
Jeongin mengikuti langkah Hyunjin menuju dapur. Setelah membuat teh untuk dirinya dan tamunya, Hyunjin duduk di hadapan Jeongin.
"Aku dulu pianis."
Jeongin mengangkat pandangannya, ia tidak terlalu terkejut.
"Mama selalu ajarin aku main piano. Aku suka piano. Setiap malam sebelum tidur, mama selalu nyanyi sambil main piano-
-suatu hari aku pengen jadi dia. Pianis terkenal. Itu cita-citaku. Tapi semua berubah. Mama sakit, papa malah pergi ninggalin kami. Tidak lama setelah itu, mama pergi juga ninggalin aku selama-lamanya."
Tangan Hyunjin bergetar. Jeongin pun memegang tangan tersebut.
"Jangan dilanjutin kalo ga sanggup."
Jeongin sebenarnya tidak meminta Hyunjin bercerita. Namun, ia tahu Hyunjin butuh tempat bercerita.
Anak itu berinsiatif pindah dan duduk di samping Hyunjin.
"Boleh kok."
Seakan tahu apa yang Hyunjin pikirkan, Jeongin menjawab hal tersebut. Merasa mendapat persetujuan, Hyunjin menyenderkan kepalanya di pundak Jeongin.
Sementara Jeongin menepuk perlahan pundak Hyunjin.
"Semenjak itu, aku gabisa. Aku bersyukur aku masih bisa liat piano, tapi aku gabisa nyentuh piano. Bahkan cuman buat bersihin aku gabisa."
"Maaf, kalo aku bikin kak Hyunjin sedih."
Hyunjin menggeleng.
"Justru kamu bikin aku ngerasa lebih baik. Makasih Jeongin."
—
"Udah malam, Jeong. Kamu gapapa pulang sendiri?"
"Gapapa kok kak."
"Nginep aja."
Jeongin terlihat berpikir.
"Heum, boleh kak?"
"Boleh dong! Aku yang bikin kamu pulang jam segini karena dengerin cerita aku."
"Kalo itu gapapa kak, aku seneng kak Hyunjin udah percaya sama aku."
Dan pada malam itu, keduanya kembali berbincang. Topik pembicaraan terus mengalir seperti air.
Ternyata Jeongin berbeda dari kesan pertama Hyunjin. Ia sangat nyaman dengan Jeongin. Rasanya ia seperti berbincang pada teman lama.
Jam sudah menunjukan pukul dua saat mereka memutuskan untuk tidur.
"Tapi, kak Hyunjin harus berani lawan ketakutan itu kak. Jangan terjebak di dalam masa lalu, itu yang akan bikin kamu kesiksa sendiri."
Sebelum benar-benar tidur, Jeongin mengucapkan hal itu yang membuat Hyunjin terus memikirkannya.
Ia menoleh, mendapati Jeongin yang sudah tertidur. Melihat itu, Hyunjin tersenyum.
"Makasih lagi, Jeong."
Jeongin adalah orang yang pertama kali bangun. Mengucek matanya dan bangkit dari kasur dengan malas.
"Kak? Kak Hyunjin?"
Hyunjin terbangun mendengar suara Jeongin.
"Huh? Jam berapa sekarang?"
"08.30, ayo bangun terus jalan pagi."
"Jalan pagi kemana?"
Jeongin tersenyum.
"Ke rumah aku, sekalian sarapan."
Hyunjin tidak menyangka jika ia akan pergi ke rumah ‘teman’ yang belum ia kenal lebih dari satu minggu. Dahulunya, Hyunjin hanya menganggap piano sebagai temannya.
Namun, sayang sekali bahkan ia tidak bisa menyentuh satu-satunya teman yang ia punya. Tapi sekarang berbeda. Hyunjin teringat perkataan Jeongin semalam.
"Kalo kak Hyunjin kesepian, inget ada aku."
Mungkin itu hanya sebuah kalimat, tapi memiliki dampak yang besar bagi kehidupan Hyunjin.
KAMU SEDANG MEMBACA
piano | hyunjeong ✓
FanficPerasaan yang didapatkan saat menyentuh piano itu membuat Hyunjin senang dan sedih. Bagaimana dengan Jeongin? Keberadaanya membuat Hyunjin senang. Namun, apakah Jeongin juga akan membuat Hyunjin sedih? Seperti piano yang dahulu kala biasa ia mainkan...