01. Menjadi siapa?

388 27 1
                                    

Selamat membaca

•••

Aku menatap rinai hujan dengan tatapan gamang. Setiap butirnya membuat cabang atensiku teralih pada sederet daun lebar yang basah oleh rintik air hujan. Aku termangu sejenak, memikirkan banyak hal yang entah mengapa tiba-tiba membuat dadaku sesak. Selalu seperti ini, masih sama seperti semalam suntuk saat aku tidak bisa memejamkan mata, banyak hal yang membuat pundakku berat oleh beban yang entah bernama apa.

Ubin kayu teras rumahku basah oleh kecipak air hujan yang masuk. Aku mengela nafas panjang, sepertinya di penghujung bulan desember ini akan menjadi tahun penutup masa kuliahku yang sedikit buruk.

Bagaimana bisa? Jawabannya sangat dan teramat bisa. Sejak virus berbahaya menyerang dunia aku hanya bisa diam duduk santai di rumah dan menjadi beban keluarga karena setelah masa sarjanahku, aku belum juga mempunyai pekerjaan.

Sekitar bulan maret lalu aku baru saja menyelesaikan tugas akhirku sebagai mahasiswi yang sampai di penghujung bulan desember dan pembuka awal januari ini aku masih menjadi pengangguran. Bisik tetangga sedikit membuatku terpengaruh, bagaimana pun juga jika hanya diam di rumah---merepotkan orang tua tentu saja akan menjadi bahan gibah para tetangga. Aku tidak menyangkal jika saja mereka membicarakan hal buruk tentangku, semua terserah mereka. Toh, semuanya sama saja aku tetap menjadi Ayara Himeka yang bahkan sampai sekarang masih diam menikmati terobosan baru, hidup semirip dengan kucing anggora. Tidur, makan, dan ke kamar mandi.

Sambil lalu menatap derasnya rinai hujan aku membuka ponsel, lagi-lagi aku mengamati profil WhatsApp yang kosong. Hanya bertuliskan dua huruf yang barang kali hanya aku dan tuhan yang tau. Tidak ada gambar semacam potret diri yang menunjukkan bahwa pemiliknya masih hidup di ujung pulau sana. Aku mengela nafas panjang kemudian mengusap layar ponselku dengan pasrah. Seharusnya aku tidak perlu begini, menunggu sampai para monyet merayakan lebaran pun tidak akan ada pesan masuk dari profit tersebut. Karena apa? Ini kebodohanku, dulu---lima tahun yang lalu aku mencuri nomor WhatsApp tersebut dari salah satu akun media milik seseorang.

Dia, cinta pertamaku.

Seseorang yang membuatku bisa berjalan dengan baik saat ombak menyerangku dengan membabi buta. Aku terfokus pada sosoknya yang terlihat baik, manis juga menampakan bahwa suatu saat nanti ia akan menjadi kepala keluarga idaman kaum wanita. Dia sederhana dan terlihat bahwa ia memiliki Azzam yang kuat. Tidak sepertiku, yang sangat mudah goyah hanya karena setan kecil bernama ponsel.

Dia membuatku mengerti bahwa cinta dalam diam bukan hanya omong kosong belaka. Dia membuatku membayangkan kehidupan pernikahan yang penuh dengan alunan ayat suci Al-Qur'an juga sederet kehidupan bahagia saat mengatasnamakan Allah di dalamnya. Anggap saja aku terlalu bermimpi menginginkan dia yang bahkan tidak melirikku sekalipun, bagiku dia terlalu sempurna untukku yang mempunyai banyak celah.

Tidak mengapa, setidaknya sudah berjalan sebelas tahun ini aku memendam semuanya sendiri. Tentang rasaku yang menginginkan ia menjadi imamku di suatu massa nanti.

Ya, suatu saat nanti saat Allah menjatuhkan telak seseorang yang entah siapa akan menjadi penyempurna ibadahku. Jika bukan dia, kuharap ada dia dua yang sama persis sepertinya dan jika tidak ada semoga Allah menggantikan dengan yang lebih baik lagi.

"Kak," aku tersadar, sedikit tersentak oleh tepukan pelan di bahuku. Aku menoleh, menatap Bayu dengan tatapan bertanya.

Bayu, adik satu-satunya yang kupunya. Dia tersenyum kecil lantas ikut duduk di sampingku sambil menikmati derasnya air hujan. "Padahal besok tahun baru, kok malah hujan ya? Kemarin aku di ajak Nasta rayain tahun baru tapi kalau hujan gini jadi males" dia mendesah kecewa.

Lelaki ImpianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang