10. Terjebak

136 22 0
                                    

Selamat membaca

•••

Aku menghitung mundur saat melihat punggung kekar sosok yang akhir-akhir ini sangat aku hindari. Ia sedang bercengkerama bersama beberapa rekan bisnisnya. Tidak melihatku namun saat hitungan mundurku mencapai tiga, aku tiba-tiba merasa kelu.

"Ayara!"

Sosok itu memanggilku. Melambaikan tangan memintaku untuk mendekat. Aku bergeming sesaat sebelum menangkap kode dari seseorang yang berdiri tidak jauh dariku untuk segera mendekat.

"Ada yang bisa saya bantu, pak?" tanyaku dengan sopan. Pak Ridwan mengulas senyum tipis sebelum kembali menatap dua manusia lain yang berada di hadapan kami.

"Kamu bisa membawa Aldan berkeliling perusahaan. Dia anak saya yang akan bekerja di sini,"

Deg.

Aku tersenyum kecil lantas menganggukkan kepala. Anak, ya? Lantas dirinya apa?

Bahkan sejauh ini ada beberapa hal yang sangat aku syukuri. Entah itu baik atau buruk namun aku sadar bahwa tidak seharusnya aku selalu berburuk sangka. Pertama, tentang jabatan pak Ridwan yang notabennya adalah papaku sendiri. Kedua, tentang dia yang bahkan tidak ada mencariku dan mengajakku berbicara atau paling tidak bertanya bagaimana kabarku lima belas tahun belakangan? Perlakuan ini terkadang membuat seluruh harapanku perlahan luruh, bersama dengan senyum yang terpatri menawan di bibirnya. Ketiga, banyak pertanyaan yang mendominasi kepalaku, apa ia tidak mengingatku, jika aku adalah anaknya?

Miris.

Rasanya menyakitkan. Aku paham perlahan semua ini akan datang menyerangku dengan bertubi-tubi. Seperti masa lalu kelam kami, perpisahan bunda yang terjadi karena pihak lain dan sekarang mereka perlahan kembali membentuk lingkar menyakitkan dan membuatku di ikut sertakan pada jalinan tali mereka. Aku ikut terjebak hingga tanpa sadar ikut menyaksikan bagaimana teriakan hatiku yang tidak sanggup lagi merasakan kesakitan itu.

"Mari, pak Aldan," ucapku pada salah satu laki-laki bertubuh tinggi atletis yang masih memandangku dengan tatapan lekatnya. Aku merasa tidak mampu juga tidak mau. Dua hal itu adalah kombinasi paling sempurna untuk membuat pertahanan hati luruh tanpa sisa.

Setelah berpamit pada pak Ridwan dan satu rekan kerjanya aku mengajak anak dari pimpinan perusahaanku untuk berkeliling. Sesekali aku menjelaskan sedikit tentang letak dan posisi apa saja di perusahaan kami. Tidak hanya itu bahkan aku sesekali bercerita guna dan manfaat setiap ruangannya.

"Perkenalkan nama saya Aldan prasetyo" aku sedikit terkejut saat sosok pemuda di hadapanku mengulurkan tangan dan menyebut namanya.

Prasetyo. Tidak perlu di pertanyakan lagi, ia memang anak dari pak Ridwan. Sampai sini, sedikit pun tidak ada yang salah. Semua berjalan normal karena sejak perpisahan bunda dan papa aku sudah tau fakta lain tentang Papa yang memiliki keluarga lain. Namun satu hal yang perlahan aku mengerti dari sakitnya merasa terkhianati. Dia, tidak mempedulikan bagaimana aku menahan setiap luka yang mencoba ia goreskan dengan kalimat bercetak miring, ia sengaja melakukannya. Apa ia sedang memperlihatkan bahwa kehidupannya yang sekarang sudah baik-baik saja? Sudah lebih baik dari kehidupan kami dulu? Dan sekarang ia ingin memperlihatkan bagaimana ia bisa menguasai dunia. Ah, terkadang manusia kecil sepertiku hanya di penuhi oleh dosa dan prasangka.

"Saya Ayara Himeka, senang bisa berkenalan dengan bapak," ucapku sambil mengulas senyum tipis. Aku menyalami tangannya masih di lapisi dengan hijab yang ku kenakan.

Dia menganggukkan kepalanya lantas memintaku untuk kembali melanjutkan langkah berkeliling perusahaan. Sebenarnya ini bukan tugasku. Aku hanya karyawan biasa dan tidak sepantasnya menjelaskan tata letak perusahaan yang mana aku baru bergabung beberapa minggu. Ini sedikit ganjal dan aneh.

Lelaki ImpianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang