02. Perihal pertemuan tidak terduga

203 24 0
                                    

Selamat membaca

•••

"Mas Norta namanya. Nanti dia yang akan bertugas ngenalin kamu sama karyawan disini. Gimana? Lumayan kan, Ay? Dari pada nganggur ngeremin telur" aku mendelik  kesal sedangkan Laras dan lelaki bernama Norta itu tertawa kecil.

"Salam kenal, Ayara" aku menoleh pada Mas Norta yang tersenyum sambil mengulurkan tangan padaku. Aku terdiam sejenak sebelum balas menyalami tangannya---sedikit canggung, karena aku sangat jarang bersentuhan langsung dengan lawan jenis. Bahkan saat bersalaman dengan Norta pun kulapisi sedikit dari hijab panjang yang ku kenakan.

Laras terlihat senang, ia melihatku seolah kucing bayi yang sangat butuh pertolongan. Bukan, Ah, barang kali memang iya. Aku sangat butuh pekerjaan. Tidak mudah bagiku menjadi pengangguran seperti sekarang. Apalagi sebelumnya aku masuk jurusan yang tidak aku mengerti.

Sudahlah, nasi sudah menjadi bubur. Menyesal pun akhirnya akan tetap sama. Aku akan menjalani hidup dengan seperti ini.

"Salam kenal juga, Mas Norta" aku balas tersenyum kecil. Laras langsung bertepuk tangannya gembira, menyentuh bahuku sambil menebar senyum paling bahagia sedunia.

"Karena kalian udah saling kenal, jadi silakan bercakap-cakap. Bicarain apa yang kalian mau bahas. Aye mau ke belakang dulu, tadi ada Bagas yang manggil" ucap Laras. Aku hanya diam saja, karena aku sangat minim mengerti cara membuka topik obrolan.

"Ayara, saya harus mulai dari mana, ya? Bingung," Mas Norta tampak tertawa kecil. Aku mengangkat kepala ikut tertawa bersamanya menyadari bahwa suasana kami berdua sungguh awkward.

"Maaf, Mas. Saya juga bingung," aku ikut bersuara. Rasanya tidak enak jika hanya dia yang perlahan membuka pembicaraan.

"Saya jelaskan sedikit tentang pekerjaan yang akan kamu lakukan nantinya" Mas Norta tampak berdeham sejenak. Aku hanya mengangguk pelan. "Bos kami namanya Pradana Zahir Zaferino. Dia ketus, dingin dan sedikit kejam apalagi kalau membahas pekerjaan. Orangnya tegas, sulit di tebak juga mudah terpancing emosi. Nanti kamu akan jadi asisten pribadinya, bekerja dengan dia mungkin sedikit sulit apalagi maaf sebelumnya---kamu menggunakan hijab" aku sepertinya mengerti dengan arah pembicaraan. Melihat raut wajah Mas Norta yang tidak enak aku tersenyum maklum.

"Gak papa mas, saya bisa ngerti dan saya akan usaha sebaik dan sebisa mungkin" ucapku meringankan rasa tidak enak yang dia rasakan.

Mas Norta tersenyum kecil lantas menganggukkan kepalanya. "Semoga kamu betah, dan satu lagi yang perlu kamu tau kalau jadi asisten pribadi ini tidak mudah, kalau memang nantinya tidak betah kamu bisa mengundurkan diri atau mengatakan kepada saya!" mas Norta menatapku dengan yakin. Aku hanya mengangguk pelan, tidak mengucapkan penolakan. Karena adapun pekerjaannya aku akan tetap menerima, bagaimana pun juga ini awal dari karierku dan jika saja di depan nanti tidak semulus yang terlihat mungkin saja tidak apa. Aku bisa memakluminya.

"Terimakasih banyak, mas Norta atas bantuannya. Besok, in syaa Allah saya akan datang untuk interview"

Mas Norta menganggukkan kepalanya. Kemudian menyesap americano-nya dengan perlahan. Setelahnya obrolan ringan mengalir begitu saja karena sifat humble dan ramah mas Norta. Kami bahkan tidak kehabisan topik obrolan.

Netraku terkunci pada sosok yang satu minggu ini menjadi mimpi indah dalam dunia harapanku. Dia, sosok itu ada juga di dalam kafe ini. Tertawa bersama adik juga teman angkatannya. Entah, mungkin saja mereka sedang reuni dadakan. Bagaimana aku bisa tau? Dulu saat sekolah dasar aku satu sekolah dengannya. Bedanya umur kami berjauhan hampir empat tahun.

Lelaki ImpianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang