15. Ending pov Ayara

213 22 0
                                    

Tarik napas dulu bentar. Ini part panjang banget 😁

Jangan lupa pojok kiri bawah 🤸‍♀

Selamat membaca

•••

Semuanya belum membaik. Itu yang aku lihat belakangan ini. Terlebih sikap Bayu yang masih menolak bertemu Papa, acuh terhadap keberadaan Aldan yang beberapa hari ini menginap di rumah bunda. Belum lagi sifat keras kepalanya yang masih menjadi terdepan. Walaupun emosinya sudah stabil tetap saja Bayu masih enggan menerima keadaan dengan mudah.

Bagaimana denganku?

Aku bisa lebih baik sekarang berkat nasehat Ayah dan kebaikan hati Bunda. Setiap harinya aku berpikir jika saja dulu Bunda tidak menikah dengan Ayah mungkin saja aku tidak bisa sebahagia sekarang. Bisa hidup dengan baik, berkecukupan dan selalu bersyukur seperti ajaran yang Ayah terapkan.

Bagiku, Ayah adalah sosok yang sempurna. Laki-laki baik yang aku idamkan ada dua di dunia ini. Atau barang kali, doa-ku masih sama. Mas Afif adalah satu di antaranya.

Membahas mas Afif aku kembali teringat dengan pertemuan tadi siang saat aku tidak sengaja berpapasan dengannya di supermarket. Mas Afif tetap tersenyum lembut seperti biasanya membuatku selalu gugup jika berada di jarak dekat dengannya.

Satu lagi yang harus kalian tau, sore nanti mas Afif memintaku untuk menemuinya di taman. Entah taman mana yang pasti nanti ia akan mengirimkan aku pesan.

Ah, menunggu nanti sore rasanya aku tidak sabar sendiri. Apa kiranya yang akan mas Afif katakan. Ucapan lamaran kah? Atau hanya mengobrol biasa menghabiskan waktu?

Mengenai pekerjaanku di kantor Papa semuanya berjalan dengan lancar. Ayah dan bunda pun membiarkan aku untuk bekerja di sana sementara waktu, katanya sampai kontrak kerja habis. Jika saja aku masih betah Ayah tidak masalah jika aku tetap bekerja di perusahaan Papa. Tapi tetap saja aku tau kekhawatiran yang terpancar jelas di kedua manik mata Bunda saat ia menyunggingkan senyum tulus kepadaku.

Intinya bunda khawatir. Barang kali takut karena bunda tau aku pernah mengalami depresi berat saat menginjak bangku SMA. Aku takut kekerasan. Bayangan Papa di masa lalu selalu menghantuiku bagai rekaman slide yang terus berputar sampai dulu bunda adalah orang pertama yang selalu menangis kala aku tidak bisa tidur atau ketakutan di tengah malam.

Semuanya sudah berjalan begitu saja. Kami, maksudku, keluarga kecilku telah bahagia dengan kehadiran Ayah Ilsan yang baik hati dan penyayang. Aku mencintainya dengan teramat tulus. Seperti cinta bunda kepada Ayah yang tidak akan lekang oleh waktu. Aku percaya itu.

"Aya,"

Aku menoleh. Aldan berjalan mendekat dengan senyum merekah lebar. Sesampainya di hadapanku ia ikut duduk di gazebo dengan wajah berseri.

"Bayu ajak aku main futsal di kompleks sebelah. Katanya nanti sore aku ikut tanding sama tim sepak bolanya," ucap Aldan dengan kedua mata berbinar.

Aku tertawa kecil sembari menganggukkan kepala. Belakangan ini hubunganku dan Aldan membaik. Seperti kembar pada umumnya walaupun aku masih mendalami sifat dan karakter Aldan yang sedikit beda denganku.

Jika Aldan sedikit dingin dan terlihat tidak tersentuh maka berbeda denganku yang ramah dan mudah bergaul. Aldan sangat lembut pada siapa pun yang sudah lama di kenalnya. Termasuk keluarga. Selama ini, sejak Ayah mengizinkan Aldan menginap di rumah untuk bersama Bunda, ia memperlakukan aku dan Bunda dengan baik. Bahkan ia tidak sungkan mempererat hubungan persaudaraannya dengan Bayu. Walaupun Bayu masih acuh tak acuh.

Lelaki ImpianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang