09. Dear hati

131 18 1
                                    

Selamat membaca

•••

Aku berjalan keluar dari gedung perusahaan dengan langkah sedikit tergesa. Bukan karena aku terburu-buru hanya saja aku sedang menghindari seseorang. Bukan ingin melarikan diri seperti yang hatiku inginkan hanya saja aku masih belum bisa, bersikap normal selayaknya karyawan biasa di hadapan pimpinan perusahaanku sendiri. Bagaimana jika bunda tau, bagaimana jika Bayu dan Ayah akhirnya tau siapa pimpinan perusahaan tempat aku bekerja. Apa yang akan mereka lakukan? Apakah meminta resign seperti yang aku bayangkan.

Dan bagaimana raut wajah khawatir bunda saat akhirnya tau mantan suaminya di masa lalu ternyata sangat dekat dengan lingkup kehidupannya. Ah, membayangkan saja membuatku ingin segera menghilang.

"Aya"

Aku menghentikan langkah dan langsung berbalik. Mas Afif berdiri di belakangku dengan kedua tangan masuk ke dalam kantong celana. Terlihat sangat tampan dengan wajah yang masih segar bekas air wudhu.

"Kamu mau pulang?" tanyanya sambil berjalan mendekat. Aku sejenak menahan nafas saat parfum khas citrus miliknya tercium begitu dekat. Astagfirullah, Ayara!  Ingat kamu dan dia bukan mukhrim.

"Ah, iya, mas. Aku mau pulang. Mas Afif sendiri?" tanyaku dengan sedikit gugup. Mas Afif tersenyum kecil kemudian menganggukkan kepalanya. Yang membuatku bingung adalah dia yang tidak membawa tas kerja atau semacamnya. Hanya hoodie berwarna biru dan kunci mobil.

"Kamu, di jemput?" tanya mas Afif lagi saat melihatku masih berada di parkiran.

Aku mengangguk kecil sambil menatapnya sekilas sebelum merogoh tas ransel kecilku mencari ponsel yang berdering. Ada panggilan masuk dari Bayu. Aku meminta izin kepada Mas Afif sebentar sebelum mengangkat panggilan dari Bayu.

"Halo, Assalamu'alaikum. Iya, Bay?" aku sedikit menyeritkan kening saat nada bicara Bayu terdengar tergesa di sebrang sana. Ia berkata bahwa ada les dadakan jadi tidak bisa menjemputnya pulang.

"Gak papa, kamu fokus belajar aja, ya? Nanti mbak bisa pulang sendiri. It's oke. Semuanya baik-baik aja. Iya Wa'alaikumsalam"

Setelah panggilan terputus aku kembali menatap mas Afif yang ternyata masih memperhatikanku. Aku sedikit salah tingkah di tatap lekat olehnya.

"Mau ke cofee break dulu, Ay? Starbusk depan?" tawar mas Afif padaku. Aku sedikit terkejut dengan tawarannya namun tak ayal menganggukkan kepala. Melupakan niat awalku pulang tergesa-gesa. Semoga saja ini bukan di catat sebagai dosa namun penyambung tali silaturahmi.

Kami berdua jalan menyusuri pinggir jalan raya hendak menuju starbusk yang berada tidak jauh dari gedung perusahaan. Berjalan kaki seperti ini pun tidak sampai lima menit.

"Duduk," Mas Afif menarik kursi kemudian mempersilakan aku untuk duduk. Sejenak aku merasakan jantungku berdesir cepat. Rasanya masih sama seperti sebelumnya. Aku selalu di buat jatuh cinta oleh sosoknya yang hangat dan lembut.

"Terima kasih, mas" ucapku dengan tersenyum tidak enak.

"Jangan sungkan," jawab mas Afif dengan tatapan lembut.

Ah, rasanya aku semakin menampung dosa jika berdekatan dengannya.

Ya-Allah, ampuni aku. Tidak ingin naif pada diri sendiri aku menyukai setiap kesempatan bersama dengan lelaki ini. Jadikan dia jodohku jika engkau menggariskan rasa ini untuk di tuai suatu saat nanti.

"Ay," Aku sedikit tersentak saat mas Afif melambaikan selembar buku menu di hadapannya. Aku tersenyum kecil, malu karena ketahuan melamun. "Kamu melamun. Ada yang mengganggu kamu? Atau pekerjaan kamu tidak sesuai?"

Lelaki ImpianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang