Tuduhan Skandal

2K 574 99
                                    

Telaga memutus sambungan ponselnya kesal. Tiba-tiba kepalanya berdenyut sakit usai menerima panggilan dari Pak Hendra mengenai keadaan di rumah. Ayah mertua datang menjenguk keadaan cucunya. Di sana terjadi argumen yang cukup serius mengenai Awan dan juga pengasuhnya.

Telaga mengembuskan napas kasar tak sabar, diperkirakan lima belas menit lagi akan tiba. Niat awal ingin singgah di apartemen diurungkan saat mendekati perempatan jalan.

"Desta, kita ke rumah aja. Aku nggak jadi ke apartemen," titahnya pada sang sopir.

Hampir satu minggu Telaga pulang ke apartemen. Selama itu juga ia tidak bertemu dengan bayinya. Telaga seperti malu atau mungkin takut berhadapan dengan pengasuhnya setelah tempo hari melecehkannya.

Tangan Telaga terkepal erat jika mengingat kembali. Air mata Rindu membuatnya merasa sangat bersalah. Hati kecilnya ikut terluka saat dialah yang menciptakan mendung di wajah teduh itu.

Dia emang pantes diperlakukan kayak gitu! Batinnya membenarkan.

Setiba di pelataran, Telaga memasuki rumahnya. Berjalan cepat seraya mencari keberadaan putranya. Terdengar keributan dari arah ruangan bermain anak. Telaga melebarkan langkah tergesa.

"Anak ini bisa jadi pengaruh buruk buat cucuku. Emang kamu nggak  becus, Hen, cari pengasuh model kayak gini? Kampungan, gak berpendidikan terus lagi ngerepotin karena harus ngasuh anaknya yang idiot!" protes laki-laki berambut putih semua yang berpakaian formal. Jarinya menunjuk pada Rindu yang menunduk.

"Maaf, Tuan Hilman, dari sekian pengasuh yang udah di-training cuma Mbak Rindu yang bertahan. Dia sangat telaten menjaga Den Awan. Juga putrinya penurut banget nggak pernah ngerepotin ibunya saat menjaga Den Awan. Binar anak yang pintar juga--"

"Tapi tetep aja, Hen, anaknya nggak normal. Lihat aja fisiknya! Apalagi otaknya!"

"Cukup! Siapa yang minta Anda ngatur-ngatur urusan saya dan Awan?!"

Suara lantang Telaga berhasil mengalihkan fokus pada dua terdakwa--Rindu dan Binar. Bahkan Hendra dan Hilman kompak menoleh pada sang pemilik rumah. Telaga memang selalu bersikap formal jika berbicara dengan beliau.

"Aga, Papi kangen sama Awan. Kenapa nggak pernah ajak dia nemuin Kakeknya. Kamu malah sibuk terus urusin bisnis. Papi tahu kamu masih berduka atas kepergian Natalia. Tapi jangan kamu lampiasin sama cucuku, Nak. Kamu malah serahin Awan diurus sama pengasuh dusun macam dia!" hardik Hilman kembali mengacungkan telunjuknya ke arah Rindu yang sejak tadi tak berani mengangkat wajahnya. Bahkan Binar yang berada di sisinya terus memeluk erat pinggang Rindu mendengar bentakan dan hinaan itu.

Telaga menatap iba pada dua perempuan yang tengah diejek. Ada rasa marah dalam dadanya. Jantungnya teremas nyeri tak terima Rindu direndahkan oleh ayah mertuanya.

"Suka-suka saya mau merekrut siapa aja yang jadi pengasuh Awan. Selama Rindu merawat Awan dengan baik saya akan pakai terus jasanya." Telaga menatap tajam Hilman yang terkejut akan jawabannya. "Selama ini juga Binar bersikap baik. Anak ini nggak pernah repotin ibunya saat dia sibuk ngurus Awan. Jadi nggak ada hak Anda mendikte saya mengenai perkembangan Awan," tambahnya tegas hingga Rindu refleks mengangkat wajahnya bertemu tatap manik hitam Telaga yang ternyata menatapnya juga. Buru-buru Rindu menundukkan pandangan.

"Sudah kuduga. Ternyata malah dibela. Nggak sia-sia aku sewa orang mantau keadaan cucuku," kekeh Hilman menatap mengejek Telaga yang mengernyitkan kening. "Dia ... mantan pacar kamu saat masih di sekolah," jelasnya menuding Rindu dengan telunjuknya.

Rindu makin menunduk. Merengkuh putrinya agar tidak dijadikan sasaran kekerasan verbal. Ia merutuki nasibnya yang tidak berdaya kenapa anak sekecil ini harus mendengar perdebatan yang bisa membuatnya terluka. Meski putrinya tak mengerti tapi Binar cukup paham akan situasi yang menyudutkan ibunya.

Luka Terdalam ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang