Gedung pencakar langit berderet di depan manik hitamnya. Tatapan yang berbaur lamunan membuat Telaga tampak tak fokus menatap ke depan. Langit biru cerah seolah tak berpengaruh pada suasana hatinya yang selalu suram. Selamanya ia akan terus merasakan luka perih dalam dada yang tak berkesudahan.
Suara gawai beserta getaran di atas meja membuat Telaga mengalihkan fokus. Berjalan santai ke arah kursi kebesaran yang selama satu minggu ini menjadi rutinitas di salah satu cabang kantornya yang berada di luar kota.
"Ya, ada apa, Pak Hen?" Suara beratnya menyapa pada kepala asisten rumah tangga di rumahnya yang bernama Hendra.
"..."
"Oya? Baguslah kalo gitu."
"..."
"Apa? Punya anak? Yakin nggak bakalan ganggu kalo dia ngasuh Awan?" Ekspresi wajah Telaga tampak serius jika menyangkut dengan putra semata wayangnya yang belum genap dua bulan.
"..."
"Hah, keterbelakangan mental? Pak Hendra serius? Dari panti jompo lagi? Kok Bapak bisa secepat itu percaya sama kinerjanya?" Telaga memijat pelipis dan satu tangannya menyangga di pinggang. "Bapak yakin Awan bakalan jadi prioritas pengasuh itu? Apa nggak bakalan ganggu kalo anaknya bikin ulah yang --" Suara Telaga terjeda oleh lawan bicaranya.
"..."
"Oke, kita lihat satu atau dua minggu ke depan. Kalo dia bisa menjaga dan merawat Awan dengan baik bersama anaknya yang idiot itu, kita akan perpanjang kontrak kerjanya. Sejujurnya aku cukup yakin atas informasi yang Bapak berikan sejak tadi bahwa dia berbeda dari tiga pengasuh yang nyerah mengurus Awan karena bayiku rewel banget. Bapak pastikan dia dan anaknya nggak macem-macem sama anakku," lanjutnya memberi perintah yang disanggupi tegas di saluran ponsel.
"..."
"Lusa aku baru balik. Nanti kita bahas lagi tentang perempuan itu. Aku nggak mau salah pilih pengasuh lagi." Telaga menarik kursi lalu mendudukinya.
"..."
"Hem, dari tadi diskusi Bapak belum kasih aku info, loh, siapa nama pengasuh itu?" ucapnya sambil menatap layar laptop yang menampilkan deretan email. Saat tangannya siap mengklik mouse, gerakan Telaga terhenti mendengar jawaban Hendra. "Rindu?" ia membeo.
Nama itu cepat merasuk dalam otaknya yang seakan melumpuh seketika. Terdiam tanpa kata sementara suara dalam seberang telepon tampak memanggil-manggil namanya beberapa kali memastikan apakah sambungannya masih terkoneksi. Hingga Telaga memilih menjauhkan benda persegi panjang canggih dari telinganya dan meletakkan asal di atas meja. "Rindu..." gumamnya dengan tatapan nyalang.
Seketika rahang tegasnya mengerat akibat gesekan gigi. Kedua telapak tangannya mengepal kuat. "Nggak mungkin itu kamu," kekehnya lantas mengusap kasar wajahnya menyadari kebodohan dirinya yang masih terbelenggu cinta labil masa putih abu-abu. Selanjutnya Telaga memilih fokus pada tumpukkan kerjaan yang melambai untuk dieksekusi.
***
Seorang sopir pribadi menyambut hormat kedatangan laki-laki berstelan formal. Mempersilakan masuk sang tuan kemudian memacu roda empat hitam ke ruas jalan raya.
"Desta, kita mampir ke rumah sakit dulu," titah Telaga yang diangguki oleh sang sopir muda berperawakan tegap. Lalu lintas yang cukup padat membuat Telaga menghela napas rendah. Mulai memejamkan mata merelaksasi kepenatan yang terasa keram dalam isi kepalanya.
Kendaraan roda empat itu tak terasa sudah tiba di sebuah rumah sakit ternama. Telaga yang sudah membuka matanya segera keluar dan berjalan cepat memasuki bangunan bertingkat. Menaiki lift yang sudah satu bulan ini rutin ia kunjungi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Terdalam ✔
Romansa18+ Semua berawal dari masa putih abu-abu. Pencarian jati diri hingga menemukan cinta sejati. Rasa yang bermula hanya untuk kesenangan namun nyatanya mengikat mereka selamanya. Telaga. Pebisnis muda yang terlihat sempurna dalam fisik dan tahta nyat...