Bab 5

175 1 0
                                    

Hari ini dia hanya mencuri pandang. Esok, bisa jadi dia sudah mencuri hati tanpa kamu sadari. (Cak Adink)

***

Angin yang berembus dari jendela begitu menusuk kulit. Semalaman hujan deras. Aku yang sedang kesepian, semakin merana karena Mas Danu tidak bisa dihubungi. Saat masih tinggal bersama, suasana seperti ini menjadi momen yang romantis bagi kami berdua. Dia akan terus mendekapku dalam hangatnya pelukan dan membisikan kata-kata mesra. Sekarang jangankan memeluk, mendengar suaranya pun tidak. Mas Danu sepertinya sedang sibuk, sampai mengabaikan telepon dariku.

Pernikahan yang dilangsungkan tepat saat usiaku berusia dua puluh lima tahun itu, kini sudah menginjak tahun ke tiga. Sayang, tanda-tanda kehadiran sang buah hati masih belum terlihat.

Mas Danu masih tidak ambil pusing. Menurutnya kalau belum rezeki mau bagaimana lagi. Aku sebagai seorang istri yang sering kali terbebani dengan hal itu. Memang tidak ada tekanan dari pihak mana pun, hanya sesekali pertanyaan tetangga yang bikin panas. Namun, itu masih bisa aku atasi. Jika ada anak, pasti aku tidak akan kesepian seperti ini.

Kututup jendela kaca yang tadi terbuka, awan terlihat gelap seperti bersiap menumpahkan kembali butiran air hujan. Suara gemericik gerimis mulai terdengar memecah kesunyian. Ingin terus bermalas-malasan di kasur, tetapi perut yang melilit membuatku urung. Jam dinding sudah menunjukkan pukul tujuh, waktunya membuat sarapan.

Kuperhatikan sejenak wajah di cermin. Saat tidak ada Mas Danu seperti sekarang, aku hanya memoles wajah ovalku dengan bedak dan lipglos. Ada gurat hitam di bawah mata yang dibingkai bulu lentik. Bibir pun sedikit pucat. Mungkin karena belakangan susah tidur. Nafsu makan juga sedang menurun.
Sambil berjalan menuju dapur, kuikat rambut tinggi-tinggi membentuk kuncir kuda, supaya tidak mengganggu saat memasak.

Kuambil approne di laci kitchen set untuk menutupi bagian depan tubuh yang berbalut dress selutut. Speaker bluetooth kuhubungkan dengan  gawai. Alunan lagu Rosa menjadi teman memasak. Sesekali menirukan nyanyian menghilangkan suasana hening di dapur.

Di kulkas hanya ada pare dan ikan layang. Cukup di buat tumisan pedas dan ikan goreng akan menjadi hidangan lezat penambah nafsu makan.

“Ini masakan Indah kan? Mas tau karena masakan Mbak Dian gak selezat ini.” Pujian Mas Hamza melintas di ingatan.

“Ya ampun ... kenapa harus teringat dia?”

Aku menggerutu sendiri. Menggeleng perlahan, mengenyahkan bayangan pria itu dalam pikiran. Sikap cuek suamiku membuat bayang Mas Hamza justru menari bebas di ingatan. Mas Danu memang tergolong jarang memuji masakanku.

Aku menghela napas, menghilangkan segala bujuk rayu setan yang mulai membisikan kata-kata buaian.

Aku tidak boleh memikirkan pria lain, saat suamiku sedang bekerja keras di luar sana. Ini hanya godaan saat menjalani hubungan jarak jauh. Aku harus kuat melewati ini.
Bisikan penyemangat dan pengingat terus kugaungkan dalam pikiran.

Masakan selesai dalam waktu empat puluh menit. Kulihat gawai, mengecek pesan WatsApp. Nihil. Mas Danu belum juga membalas pesan. Biasanya sebelum mulai kerja, dia akan menelepon terlebih dahulu.
“Mas, Mas, gak kangen apa sama Adek?” keluhku frustrasi.

Samar terdengar ketukan dari pintu depan. Sedikit berlari untuk membukakan pintu.
Aku menghela napas melihat siapa yang datang. Pria dengan baju basah kuyup berdiri di teras. Tangannya memeluk badan seperti menahan dingin. Dia menoleh menyadari kehadiranku.

“Mau ambil kunci, In,” ujarnya sambil melempar senyum.

Tanpa berkata aku masuk mengambil kunci rumah yang dititipkan Mbak Dian jam enam pagi tadi. Di tengah gerimis yang turun, wanita itu pamit ke rumah orang tuanya. Membawa Rafi dan Alya. Mas Hamza berlalu setelah aku menyerahkan kunci padanya. Jadi teringat Mas Danu yang sering kali pulang kerja kebasahan karena lupa membawa mantel hujan.

Kulanjutkan untuk menyantap sarapan sambil menonton acara televisi di channel ikan terbang. Tontonan yang sering kali membuat kesal tetapi tetap saja aku ikuti.
Dari pada duduk bengong, pikirku membela diri.

Ketukan pintu kembali terdengar. Ya ampun. Siapa yang hujan-hujan begini ke rumah?
Aku berdecak kesal saat lagi-lagi mendapati Mas Hamza berdiri di depan pintu. Dia sudah berganti pakaian. Aroma wangi menguar dari tubuhnya. Bajunya rapi meskipun ada sedikit basah di bagian tertentu, mungkin terkena cipratan air hujan.

Mau ke mana dia serapi itu? Di tengah hujan yang mengguyur? Dasar konyol.

Aku mengernyitkan dahi.

“Apalagi, Mas?” seruku dengan nada ketus.

“Jangan galak-galak, In!” serunya kesal.

Aku melotot, memutar badan dan bersiap menutup pintu. Kurang kerjaan menanggapi pria ini. Belum sempurna pintu tertutup. Mas Hamza menghalangi dengan tangan kokohnya.

“Sensi amat sih, In. Mas cuma mau minta tolong. Mas laper dan gak ada makanan di rumah, mau masak sendiri juga gak ada apa-apa, pinjem hape Indah buat pesan gofood mas habis kuota!” serunya buru-buru.

Aku menghela napas panjang. Merasa iba dengan penuturan pria itu. Setahuku Mbak Dian memang jarang masak. Mas Hamza mungkin berkata jujur. Hujan juga mulai deras. Para driver gofood pasti enggan menerima pesanan.

“Mas tunggu situ, saya ambilkan makanan, jangan masuk!”

“Eh, gak usah Indah, nanti ngerepotin kamu,” kilahnya.

“Hujannya deres, go food pasti pada malas jalan.”

“Beneran, In, gak usah. Pinjam hape aja.” 

Pria di hadapanku bersikeras. Dia pasti gak enak kalau menerima pemberian dariku. Akhirnya aku mengalah, mengambil gawai dan memberikan padanya.

Sampai sepuluh menit menunggu, sepertinya belum ada respon. Mas Hamza pun mengembalikan gawai dan berniat pergi. Kudengar bunyi dari perutnya. Pria itu pasti sudah kelaparan.

“Kebetulan Indah habis masak, Mas. Tunggu bentar Indah ambilkan.”
Mas Hamza hendak menolak, tetapi aku tetap memaksa. Pria itu pun mengangguk, dia mengulum senyum seperti menahan malu.

Aku melangkah ke dapur mengambil makanan. Dua susun rantang stainles, kuisi salah satunya dengan nasi. Satu lagi berisi tumisan pare dan ikan goreng. Kuseduhkan juga teh manis hangat. Lagi-lagi tidak tega mengingat Mas Hamza yang habis kehujanan. Mas Danu selalu menyuruhku untuk bersikap baik pada tetangga. Terutama tetanggaku yang satu itu. Karena hubungan mereka sudah seperti keluarga.

Sibuk dengan urusannya, Mbak Dian sering lupa kebutuhan anak dan suaminya. Aku bahkan pernah melihat Rafi bikin ceplok telur sendiri, sementara ibunya sibuk mengantar pesanan. Aku merasa iba, sering memasak lebih dan membagi untuk anak-anaknya.
Untuk Rafi dan Alya.

Kalau orang luar melihat, mereka seperti pasangan serasi. Namun, kalau tahu kesehariannya mereka pasti tidak percaya. Entah apa yang menjadi alasan percekcokan mereka. Mbak Dian seringkali berteriak pada suaminya.

Dua susun rantang dan segelas teh manis hangat kuberikan pada Mas Hamza. Dia tersenyum semringah mengucapkan terima kasih. Aku membuang muka saat matanya menatap lembut. Cepat-cepat masuk rumah dan menutup pintu. Ketukan lagi-lagi terdengar.

Iiish. Apa lagi sih?

Kubuka pintu dan melihat dua tangan Mas Hamza penuh dengan segelas teh dan rantang berisi makanan.

“Mas gak bisa bawa payungnya?” Cengiran lebar menghiasi wajahnya.

Ya, ampun. Nih orang ....

Kuambil payung dan bersiap mengantar pria menyebalkan itu.

“Indah bawa tehnya aja, biar Mas yang bawa payung.”

Dengan malas kuraih teh di genggaman Mas Hamza, dan melangkah bersama di bawah payung berwarna merah itu. Setengah mati menahan debaran jantung yang tiba-tiba berdetak kencang. Ada apa denganku? Kenapa jadi grogi seperti ini.
Setelah sampai di teras rumahnya, kuambil payung di genggaman Mas Hamza.

“Biar Mas antar,” ujarnya lembut.

“Ish. Gak usah cari alasan deh Mas, tadi katanya kelaparan.”

Pria itu terkekeh dan menyerahkan payung tersebut. Aku pun segera berlalu meninggalkannya.

Bersambung

Dicintai Suami TetanggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang