Bab 1

234 9 1
                                    

Jika aku tidak memiliki rasa malu, pasti sejak lama sudah tergoda dengan pria tidak sopan itu. Dia memang memiliki daya tarik luar biasa. Tubuh tegap dan tinggi, kulit sawo matangnya semakin eksotis saat berkeringat diterpa matahari. Mata tajamnya siap menghujam dada tatkala mencuri pandang padaku.

Mas Hamza adalah suami dari tetanggaku. Meskipun usianya menginjak empat puluh tahun, dia masih terlihat awet muda. Bekerja sebagai driver di sebuah perusahaan batu bara, membuatnya cukup mapan sebagai seorang suami. Pria itu memang orang yang ringan tangan kepada siapa pun. Selalu menjadi yang terdepan saat ada tetangga butuh bantuan.

Namun, belakangan dia bersikap aneh. Aku sering memergokinya tengah memandangiku. Bukannya besar kepala, tetapi aku bisa menangkap ada arti lain dalam tatapannya. Seperti seorang pria yang sedang mengagumi seorang wanita.

Kehidupan rumah tangga Mas Hamza memang tidak harmonis. Menurut bisik-bisik tetangga, sudah sejak lama seperti itu. Aku juga kerap mendengar pertengkaran mereka saat sedang menjemur baju di belakang rumah, tepatnya suara keras  Mbak Dian saat sedang mengomel. Sementara  Mas Hamza tidak pernah kudengar suara kerasnya.

Rumahku dengan pria itu hanya  berjarak tiga meter, jadi jika  mereka berteriak dapat dengan mudah sampai ke telinga.

Aku pindah kesini belum genap satu tahun. Menempati rumah mertua karena mereka sudah tiada. Sebagai anak satu-satunya, suamiku yang akhirnya mewarisi rumah ini.

Tinggal di sini memang menyenangkan. Suasana pedesaan yang asri dan bersih. Kehidupan antar tetangga pun cukup akur. Namun, sejak aku menangkap sinyal ganjil dari suami tetanggaku itu, semua jadi berubah.

Mas Hamza memang belum pernah berbuat macam-macam, hanya berani memandang dengan kekaguman. Namun, aku risih dengan caranya memperhatikanku, membuat mood jadi buruk.

Apalagi suamiku kerja di daerah yang jauh, dia harus tidur di mes dan hanya bisa pulang tiga bulan sekali. Lokasi kerja jauh dari pemukiman, membuat Mas Danu tidak bisa membawaku bersamanya. Aku takut jika godaan orang ketiga menghancurkan rumah tangga kami.

Sudah dua hari mesin air di rumah mati. Pak Lik Darmo, tetangga yang biasanya membantu segala kerusakan di rumah sedang meriang. Bulik Darmi istrinya, justru menyuruh Mas Hamza yang saat itu melintas untuk membantu memperbaiki mesin air tersebut.

Aku ingin menolak, tetapi tandon penampungan air yang sudah kosong membuat mau tak mau meminta tolong sama Mas Hamza.

Dalam hati terus menggerutu melihat pria itu yang tengah sibuk memperbaiki mesin. Mas Hamza sesekali memintaku untuk mengambilkan perkakas yang dibutuhkannya.

His. Dia kan bisa ambil sendiri.

Sabar, Indah, sabar. Gitu juga demi kebaikan kamu. Selama Mas Hamza tidak berbuat macam-macam kamu harus tenang.

Aku menarik napas dalam, mencoba mengontrol gemuruh di dada.

“Nduk, coba dinyalakan!” seru Mas Hamza dengan lembut, sampai eneg mendengar suaranya yang dibuat-buat. Jariku menekan tombol saklar yang menghubungkan ke mesin. Suara berdengung khas mesin air terdengar keras.

Alhamdulillah, akhirnya beres juga. Penyiksaan berada dekat dengan pria menyebalkan itu usai.

Mas Hamza merapikan perkakas yang baru saja dipakainya. Melangkah ke wastafel cuci piring dan membersihkan kedua tangannya di sana. Aku berdiri di pintu ruang tengah, mengamati setiap gerak-gerik pria berkulit sawo matang itu.

“Kalau ada kerusakan lagi, jangan sungkan minta tolong Mas.” Mas Hamza melirik dan melemparkan senyum. Aku menanggapinya dengan anggukan kecil.

Kuucapkan terima kasih dan mengulurkan amplop berisi uang sebagai upahnya telah membantu. Pria berhidung mancung itu mengernyit.

“Mas tersinggung, lho, kamu kasih bayaran!” seru pria itu dengan pandangan menatap tajam padaku.

“Kalau sama Pak Lik Darmo biasa bayar.”

“Itukan emang kerjaan beliau, kalau Mas memang niat membantu.” Lagi-lagi dia tersenyum, tatapannya berubah lembut.

Aku memaksa, tetap memberikan amplop itu. Sebisa mungkin tidak mau berhutang budi pada pria genit sepertinya.

“Gini aja, kalau Nduk tetep mau kasih bayaran. Cukup dengan secangkir kopi dan sepiring brownies.”

Mataku mengikuti arah pandangan Mas Hamza. Piring yang kuletakkan di meja makan yang berisi satu loyang brownies yang tadi aku buat.

Aku mengomel dalam hati. Dasar pria hidung belang. Ada saja alasan untuk bisa dekat-dekat denganku. Kalau Pak Lik Darmo yang ke sini, pasti sudah aku suguhkan kopi dan juga camilan, sebagai tanda terima kasih pada beliau. Sementara ini Mas Hamza. Ish. Malas banget, nanti dia kerasan duduk di sini.

“Gak ada Mas Danu di rumah, Mas. Gak enak kalau dilihat tetangga Mas ngopi di sini. Browniesnya biar saya bungkus aja, ya.”

Senyum yang tadi menghias wajah tegasnya menghilang. Ada binar kekecewaan di mata elangnya.

“Maaf ya, Nduk, bukan maksud Mas lancang tadi.” Mas Hamza ke luar ruangan. Terdengar bunyi berderit dari arah belakang, sepertinya pria itu duduk di kursi yang ada di samping pintu dapur.

Kupotong kue brownies kukus dan menempatkannya pada wadah plastik, kemudian mendekati Mas Hamza. Pria itu duduk termenung, pandangannya menerawang ke sawah yang ada di belakang rumahku.

“Sekali lagi terima kasih, Mas.” Kuberikan wadah berisi brownies tadi. Seulas senyum kembali dia berikan.

“Kalau ada apa-apa kasih tau Mas aja, punya nomor hape Mas kan, Nduk?” tanyanya lembut.

Aku benar-benar tidak suka dengan caranya memanggilku. Dia bukan siapa-siapa, tidak seharusnya tidak menyebutku dengan panggilan 'Nduk'. 

“Bisa gak? Mas cukup panggil saya dengan nama aja, saya risih.”

Pria itu justru terkekeh geli. Entah apa yang ada dipikirannya.

“Iya, Indah cantik. Terima kasih browniesnya,” ujarnya sambil tersenyum manis.
Aku melotot mendengar ucapannya. Dia sudah berani merayu.

Mas Hamza berlalu dari hadapanku. Pandangan kami bertemu saat pria itu menengok sekali lagi. Cepat-cepat kualihkan wajah ke sawah. Menyebalkan.

Bersambung

Hai guys. Jangan lupa dukung cerita ini dengan cara like komen and share. Makasih

Dicintai Suami TetanggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang