Bab 7

184 5 3
                                    

Aku ingin mencintai dalam diam. Menyaksikanmu bahagia dengan dia yang kaucinta. Namun, perasaan ini sulit kukendalikan hingga tanpa sadar rasa itu muncul bersama sebuah harapan.

***

Aku menarik selimut menutupi seluruh tubuh, tetapi badan ini masih mengigil kuat. Empat hari ini mengalami demam, kemarin sempat turun setelah minum obat warung. Entah kenapa sekarang mulai kembali panas. Kepala pusing, seluruh badan nyeri dan mulut terasa pahit, bibir pun kering dan pecah-pecah.

Makanan yang kubeli lewat gofood pun tidak tersentuh sama sekali. Mas Danu masih belum bisa pulang, dan aku tidak mungkin merengek, memaksanya untuk merawatku yang cuma meriang.

Kalau saja orang tuaku dekat. Pasti aku bermanja-manja dengan mereka. Tapi dalam kondisi jauh seperti ini aku tidak mungkin mengabarkan keadaan seperti ini pada mereka.

Ingin tidur tetapi mata sulit terpejam dalam kondisi seperti ini. Hanya bisa berbaring dan menahan sakit. Pagi tadi terdengar suara anak memanggil, sepertinya Alya. Aku hanya bergeming sampai suara gadis kecil itu tidak lagi terdengar. Pasti memilih pergi  karena lelah tidak juga mendapat jawaban.

Gawai yang kuletakkan di samping bantal mengalunkan lagu Rosa. Ada panggilan masuk. Aku sedikit memicingkan mata untuk melihat siapa yang menelepon. Mas Hamza. Aku mendesah pelan, enggan mengangkat panggilan.

Gawai terus berdering dari nomor yang sama. Sepertinya Mas Hamza akan terus menelepon kalau aku tidak juga mengangkat panggilannya.

“Assalamu’alaikum.” Dengan suara serak aku mengangkat panggilan.

“Wa’alaikumsalam, Indah sakit? Suaranya lemes banget.”

Aku menggeleng pelan, lupa kalau Mas Hamza tidak bisa melihatnya.

“Indah!” serunya dengan nada panik.

“Indah cuma demam, Mas. Bentar lagi juga sembuh.” Aku tidak mau mengatakan sebenarnya dan merepotkan orang lain.

“Buka pintunya, Mas ke rumah sekarang.”

Suara berat Mas Hamza terdengar khawatir.
Belum sempat menjawab, panggilan telepon sudah ditutup. Selang beberapa menit sudah terdengar ketukan pintu. Sendi-sendi semakin terasa nyeri saat bangun dari pembaringan. Penglihatan sedikit berkunang-kunang. Aku duduk sejenak sampai akhirnya berjalan tertatih sambil berpegang pada dinding.
Seraut wajah cemas menyambut saat aku membuka pintu.

“Ya Allah, Indah. Kamu pucet banget, badannya juga panas.”
Tangannya tanpa meminta izin sudah menyentuh dahi. Aku mencoba menepis, tetapi tangan yang lemah ini hanya menggantung di udara.
Pria di hadapanku semakin panik saat kurasakan ada sesuatu yang keluar dari hidung.

“Astaghfirullah, kamu mimisan?”

Mas Hamza segera membimbingku untuk duduk di kursi. Tangannya meraih tisue yang biasa kuletakkan di meja ruang tamu, kemudian Mas Hamza mengusap darah yang keluar dari hidung.

Mataku berkabut, hati begitu terharu menerima semua perlakuan suami tetanggaku ini. Rasa kesal yang dulu ada saat Mas Hamza mendekatiku kini hilang.

Kenapa di situasi seperti ini justru Mas Hamza yang ada untukku.

“Kita ke rumah sakit, Indah tunggu dulu sebentar, ya?”

Dalam hitungan detik pria berkulit sawo matang itu sudah berlari menjauh. Kusandarkan kepala yang berdenyut nyeri. Badan sudah lemas, rasanya ingin berbaring saja. Sweater yang kupakai tidak sanggup menghilangkan hawa dingin. Ini benar-benar sangat menyiksa.

Beberapa menit kemudian Mas Hamza muncul.

“Tadinya mas mau pakai mobil Pak RT tapi kebetulan lagi dipakai, Indah masih kuat duduk di motor? Mas antar pakai motor.”

Dicintai Suami TetanggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang