Bab 2

188 4 0
                                    

Jam menunjukkan pukul sepuluh pagi, aku sudah disibukkan memasak di rumah Mbak Dian untuk membuat nasi kotak. Anak sulungnya yang yang sekarang kelas lima SD telah khatam Al-qur'an. Sebagai tanda syukur orang tua biasanya membagikan makanan di tempatnya mengaji. Aku adalah tetangga paling dekat, itu sebabnya Mbak Dian memintaku untuk membantu.

Untung saja Mas Hamza sedang tidur lelap, menurut tetanggaku ini suaminya masuk sif malam, sehingga sepulang kerja jam delapan pagi tadi langsung beranjak tidur. Setidaknya memberi sedikit kelegaan bagiku tidak melihat tampang menyebalkannya.

Mbak Dian mengupas kentang dan sayuran lain. Tangan sesekali mengecek gawai di sampingnya. Wanita berusia tiga puluh lima tahun itu mempunyai bisnis on-line. Menjadi reseller baju-baju syar'i dan beberapa produk lainnya.

“In, bisa tolong bikinkan bumbu sop ayam? Sekalian masak sayur dulu, jadi bisa buat makan siang. Itu tempenya digoreng juga,” seru wanita di depanku.

Kuambil bumbu-bumbu untuk sop dan menyiangi sayurannya. Mbak Dian sudah membersihkan dan memotong ayam untuk campuran sop.

Sesekali aku menimpali obrolan Mbak Dian yang seru membicarakan bisnisnya. Wanita yang masih langsing meskipun telah memiliki dua anak itu terlihat gaul. Gamis model kekinian menjadi busana kesehariannya. Aku sampai heran, kenapa Mas Hamza masih melirik wanita lain sementara di rumah mempunyai istri yang cantik dan menarik.

Apa memang benar rumor yang sering beredar? Bahwa seorang pria tidak cukup dengan satu wanita? Mereka selalu menginginkan yang lain di luaran sana.

Padahal kalau aku lihat, Mas Hamza orang yang taat beribadah. Dia tidak pernah telat untuk salat berjamaah di mushola dekat rumah. Sikap genitnya padaku yang membuat ilfeel dan hilang rasa hormat. Meskipun tahu, Mas Danu justru sangat menghargai tetangga yang satu itu. Keluarga Mas Hamza dulu banyak membantu orang tua suamiku.

Sudah pukul setengah dua belas. Sayur sop dan tempe goreng telah siap di meja makan. Mbak Dian juga sudah menyelesaikan menggoreng kentang yang akan dibikin balado. Bumbu juga selesai dihaluskan. Tinggal menggoreng ayam, kerupuk, bikin mie goreng serta kentang balado untuk isian nasi kotak.

Makanan harus selesai pukul dua siang. Setelahnya itu dimasukan dalam kotak untuk dibawa ke tempat mengaji  Rafi. Aku mulai menumis bumbu balado, aroma cabe menguar di ruangan ini. Sedikit bersin karena wanginya begitu menusuk hidung.

Kulihat Mbak Dian menjauh untuk menelepon. Ternyata meskipun berdiam diri di rumah dia sangat sibuk. Sebenarnya aku juga mempunyai kesibukan, sesekali menerima pesanan kue dari para tetangga sekitar.

“In, Mbak tinggal dulu sebentar, ya. Mau antar pesanan gamis.”

Aku menghela napas, tidak suka jika harus ditinggal sendiri. Bagaimana kalau Mas Hamza bangun dan Mbak Dian belum pulang.

“Gak lama kan, Mbak? Nanti gak keburu kalau aku kerjain sendiri,” ucapku memberi alasan supaya Mbak Dian cepat pulang.

“Gak kok, cuma di Adisucipto situ. Orangnya udah bolak-balik nelpon.” Mbak Dian mondar-mandir sambil menyiapkan barang yang akan dibawanya.

“Kalau Mas Hamza bangun, bilang aja Mbak keluar sama Alya.” Wanita berkulit putih itu keluar dengan tas besar di tangannya. Sepertinya ada banyak gamis di sana. Aku hanya bisa berdoa, semoga Mbak Dian pulang sebelum Mas Hamza bangun.

Aku kembali melanjutkan kegiatanku tadi. Menggoreng ayam sambil membuat kentang balado.

Tak lama terdengar suara Mas Hamza memanggil Mbak Dian. Dada berdebar kencang karena rasa takut yang tiba-tiba menyergap.

“Ish, kenapa udah bangun!” seruku kesal. Pandanganku bertemu dengan sosok pria bertelanjang dada yang berdiri mematung di ambang pintu yang menghubungkan ruang tengah dan dapur. Dia seperti terkejut melihat kehadiranku di sini. Mas Hamza kembali masuk tanpa mengucapkan sesuatu.

Dicintai Suami TetanggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang