16 - Relationship [250321]

2.8K 325 332
                                    

Kata orang, salah satu penyesalan terbesar manusia adalah ketika dia begitu menyayangi seseorang namun dia justru tidak ada disaat orang yang disayanginya tengah dilanda kesulitan. Membandingkan dengan apa yang sedang Adit rasakan saat ini, mungkin dia jauh lebih dari sekedar menyesal. Adit merasa tidak berguna, bodoh, dan hancur disaat bersamaan. Rasanya dia ingin bersujud sekarang juga dihadapan sang putra yang kini masih terbaring lemah demi meminta pengampunannya. Apa saja yang sudah dia lewatkan selama ini sampai bahkan keadaan anaknya sendiri pun dia tidak tahu?

Masih teramat jelas diingatan Adit ketika pria yang Indra sebut sebagai onkolog itu berbicara padanya, tentang hal tersembunyi mengenai putra keduanya yang kalau boleh memilih, sungguh tidak ingin Adit dengar. Terlampau menyakitkan.

Arka sakit.
Kanker lambung.
Stadium tiga.
Kita nyaris terlambat.

Kata-kata seperti itu terus-menerus berulang kali meneror pikirannya tanpa jeda. Seolah memang sengaja membuatnya jatuh lebih dalam pada jurang sesal tak berujung. Dadanya sesak, membayangkan betapa tersiksanya sang putra menahan sakit seorang diri selama ini.

"Maafin ayah, nak... Ayah minta maaf..." genggaman tangan Adit semakin mengerat di telapak Arka. Dia menunduk, tak sanggup menyaksikan bagaimana raut pucat itu hanya menampilkan wajah datar tanpa ekspresi dengan selang bening dibawah hidung untuk membantunya bernapas.

Tangisan Adit sedikit mereda ketika dia merasakan seseorang berdiri disampingnya. Dia tahu siapa itu hanya dari helaan napasnya. Kendati demikian, Adit tetap tak ingin mengangkat wajah.

"Yah..?"

"Kamu udah tau 'kan, Nan?" Adit menyela sekaligus menjeda ucapannya. Dadanya kembali sesak saat mengingat lagi ucapan Saka tadi.

Tingkat kesembuhan Arka saat ini kecil.

Operasi tidak bisa dilakukan. Kemoterapi adalah alternatif pilihan.

Kita masih bisa berusaha.

Isakan yang tadinya sudah reda, kini mulai terdengar kembali. Menyakitkan, dan Nanda tidak akan pernah sanggup melihat ayahnya hancur seperti ini.
"Kenapa ayah baru dikasih tau sekarang disaat-.., disaat Arka bahkan udah minim harapan untuk sembuh?"

Nanda menjatuhkan dirinya di dekat kaki sang ayah yang masih terduduk di samping ranjang Arka. Air matanya meluruh deras, dan Nanda sendiri tidak tahu bagaimana cara menyembuhkan luka menganga di hatinya yang baru saja tertabur air garam. Dia pun sama hancurnya dengan sang ayah.

"Nanda minta maaf, yah... Harusnya waktu itu Nanda lebih perhatiin Arka, tapi Nanda malah sibuk sama urusan Nanda sendiri" kilasan peristiwa beberapa waktu lalu kembali terulang di benak Nanda. Wajah pucat Arka yang selalu nampak, raut kesakitannya dibalik topeng baik-baik saja, senyumnya yang terlihat bahkan setelah Nanda membuatnya terluka, serta tangisan Arka malam itu. Semua terkumpul menjadi satu, menampilkan potongan-potongan kejadian yang semakin membuatnya lebih hancur di tiap sekon nya.

Disela tangisnya yang tak kunjung reda. Tiba-tiba Nanda merasakan Adit berjogkok dihadapannya, memeluknya tanpa aba-aba. Erat, terasa hangat, namun juga menyimpan sakit di waktu yang sama. Dia seolah bisa merasakan apa yang Adit rasakan saat itu. Detak dan tangisan pria itu cukup menjelaskan sesakit apa Aditya.
"Ayah ngga pantes buat kamu mintain maaf, Nan, karna ayah sendiri juga salah"

Nanda meremat kuat pakaian di punggung sang ayah, menyalurkan segala ketakutan yang saat ini tengah berkecamuk ria dalam pikirannya. Dia berusaha bicara normal, tetapi malah suara bergetar yang keluar.
"Ayah... Nanda takut Arka pergi. Nanda takut ada yang bawa pergi adik-adik Nanda. D-dia ngga akan kembali 'kan, yah?"

[✔] AMARIS || TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang