Part 10

330 31 2
                                    

"Kamu marah ya, Tha?" Tanya Gery khawatir. Vitha menggeleng, bingung. "Terus kenapa dari tadi diem aja?"

"Aku cuma bingung." Jawab Vitha asal.

"Sama aku juga awalnya bingung. Tapi mungkin bener kata orangtua zaman dulu, cinta ada karena terbiasa." Gery bertutur yang ditimpali Vitha dengan seulas senyuman. "Terus kamu gimana sama aku?" Tanya Gery sembari meraih telapak tangan Vitha lalu menggenggamnya erat.

"Maksudnya?"

"Yaa aku kan udah utarain perasaan aku ke kamu, tanggapan kamu?" Tanya Gery, penasaran. Harusnya Vitha senang. Ini yang ia tunggu belasan tahun lamanya. Terlebih beberapa tahun belakangan ini. Tapi mengapa saat ini terasa hambar didengar dan dirasa. Apa karena beban pikirannya sedang menggunung sehingga pernyataan cinta Gery terasa biasa.

"Aku...." Vitha gelagapan. "Aku...." Vitha berusaha menemukan jawaban yang pas secepatnya. "Aku...."

"Aku apa? Kita bisa dengan hubungan lebih dari sahabat kan?"

"Aku lagi nggak mau bahas itu, Ry. Maaf...." Vitha menyesal. "Aku lagi puyeng banget." Keluh Vitha. Gery mengeryitkan kening. "Tante Mirna nagih sisa hutang biaya pengobatan almarhum Papa."

"Hutang?"

"Iya."

"Berapa?"

"Sisa 64 juta."

"Gede juga."

"Ya itu makanya, aku lagi puyeng banget." Vitha melepaskan genggaman Gery, lalu menyapu rambutnya, frustasi.

"Bukannya Tante Mirna itu saudara mama kamu ya?" Tanya Gery mengeryitkan kening.

"Yaa tapi meski saudara kalau hutang ya tetap hutang. Di bahasa keuangan nggak ada istilahnya saudara." Cetus Vitha sinis. Gery tergelak.

"Tengilnya kumat." Ledek Gery sembari mengelus puncak kepala Vitha. Vitha mengerucutkan bibirnya.

"Tapi pada realitanya emang seperti itu kan?" Tanya Vitha tidak mau kalah.

"Tapi nggak usah diceplosin juga kali, Tha." Nasehat Gery. Vitha acuh, diseruputnya es kelapa muda yang ia pesan tadi. "Tahu nggak, ini yang bikin aku nyaman. Kamu selalu apa adanya." Bisik Gery serius. Vitha bergeming. Dalam hati dia berharap Gery mengambil peran, menyelamatkannya dari rasa hutang budi pada Ilham. Setidaknya siapa tahu bisa membatalkan khitbah Ilham. "Udah nggak usah manyun terus. Bicarakan aja baik-baik. Minta waktu sama Tante Mirna. Aku yakin Tante Mirna bisa ngerti." Ujar Gery menenangkan. Vitha melirik sebentar ke arah Gery. Menelan saliva, kecewa.

# # #

"Ehh Nak Ilham..." Sapa Marni saat mendapati Ilham muncul di depan rumahnya. Ilham segera menyalami Marni. "Ayo masuk." Ajak Marni.

"Vitha ada?" Tanya Ilham to the point. Rencana ia ingin mengajak Vitha berdiskusi perihal rencana pernikahan mereka.

"Vitha lagi lagi keluar dulu."

"Kemana?"

"Tadi sih pamitnya beli cemilan. Udah lama sih, mungkin sebentar lagi juga pulang. Tunggu aja." Marni lalu mempersilakan Ilham duduk.

"Assalamu'alaikum..." Salam seseorang dari teras depan. Baru saja Marni duduk saat salam itu terdengar.

"Waa'alaikumsalam." Sahut Marni. "Sebentar ya." Pamitnya pada Ilham. Ilham mengangguk. Ilham memainkan ponselnya selama ditinggal sendiri di ruang tamu rumah Marni. Cukup lama sehingga beberapa kali dia mendesah. "Ehh maaf jadi dianggurin."

"Nggak apa-apa, Bu."

"Nak, ibu ada perlu sebentar ke rumah tetangga, nggak apa-apa kalau ibu tinggal?"

"Kalau gitu saya pamit pulang dulu aja." Ujar Ilham tidak enak.

"Ehh jangan. Ibu lagi masak pepes ikan lho buat kamu. Kamu suka pepes ikan kan?" Marni memastikan, Ilham tersenyum lebar mendengarnya. "Tadinya mau ibu suruh Vitha kirim pas matang nanti, ehh nggak tahunya kamu kesini." Ujar Marni sembari menepuk lengan Ilham pelan. "Udah tunggu, kita makan bareng." Cegah Marni. "Sekalian ibu nitip kompor maksudnya. Masih berlangsung itu proses masak pepesnya." Marni nyengir, lagi-lagi Ilham tersenyum lebar.

"Oke kalau gitu. Tenang kompor aman sama saya, Bu." Kelakar Ilham.

"Ibu tinggal ya?! Kalau mau minum atau seduh kopi..."

"Siap, Bu." Potong Ilham seraya menyentuh balik lengan Marni lembut.

"Ibu pergi."

"Oke. Hati-hati ya, Bu."

# # #

"Pulang yuk, udah mau sore." Ajak Vitha.

"Nggak mau lihat sunset dulu?"

"Nggak ahh."

"Tumben."

"Lagi nggak nafsu."

"Nafsu nya ngapain dong sekarang?" Goda Gery, nakal.

"Pengen pulang." Jawab Vitha dengan wajah malas.

"Ya udah ayo." Gery beranjak lebih dulu, meraih kunci mobil dari atas meja sembari membungkuk dan mengecup pipi Vitha. Mata Vitha terbelalak.

"Apaan sih?" Vitha sewot, tidak nyaman.

"Kecupan sayang dari calon pacar."

"Calon pacar?"

"Yaa kamu kan belum kasih jawaban dari pernyataan cinta aku tadi. Atau kamu udah punya jawabannya sekarang?" Vitha tercekat. Hatinya harus akui, ada nama Gery disana. Tapi untuk bilang iya, mau, aku terima apalagi aku juga cinta kamu rasanya sulit. "Tenang aja, aku kasih waktu kamu berpikir. Aku paham kok ini mendadak buat kamu."

# # #

"Vitha belum pulang?" Tanya ibu sekembalinya dari rumah tetangga.

"Belum, Bu." Jawab Ilham gelisah. "Vitha pamit beli cemilan dimana, Bu?"

"Nggak bilang sih mau beli cemilan dimana. Paling ke mini market depan. Nggak tahu malah ke toserba di Pusat Kota." Cetus Marni yang mulai ikut khawatir.

"Sekalian main kali ya, Bu." Ilham berusaha menenangkan dirinya juga Marni.

"Bisa jadi. Ya udah kalau gitu ibu siapin makan malam dulu ya." Marni beranjak. Ilham mengangguk sembari mulai mengirimi Vitha pesan. Ceklis satu. Nomor Vitha tidak bisa dihubungi. Kadar kekhawatiran Ilham mulai meningkat.

"Makasih udah aku antar pulang." Ucap Vitha sembari keluar dari mobil yang langsung diikuti Gery. Ilham yang menyadari ada mobil berhenti langsung mengintip dari jendela.

"Tha, tunggu." Cegah Gery dengan menarik lengan Vitha. "Ada yang beda di kamu. Kamu kenapa? Kamu marah sama aku? Kamu masih jealous sama Dewi? Atau kamu nggak suka sama pengakuan aku tadi?"

"Aku nggak apa-apa, aku lagi puyeng aja. Kan tadi udah aku ceritain."

"Cuma itu?" Gery memastikan, Vitha mengangguk.

"Aku yakin kamu bisa lewatin ini dengan baik." Bisik Gery tepat di telinga Vitha. Yang semakin lama semakin mendekatkan wajahnya pada wajah Vitha, hampir saja bibir itu bertemu. Ilham yang melihat itu mengatupkan rahang, keras. Vitha memalingkan wajahnya dan pamit lalu beranjak masuk. Meninggalkan Gery yang masih mematung dengan sikap Vitha yang tidak seperti biasanya.

"Assalamu'alaikum... Vitha mengucapkan salam sembari membuka pintu.

"Waa'alaikumsalam." Jawab Ilham dingin. Mata Vitha membulat. Terlebih melihat sosok Ilham ada di dekat jendela.

"Ko-ko..." Sapa Vitha terbata. Ilham menatap Vitha tajam, Vitha menunduk. Kakinya mendadak lemas.

"Siapa dia?" Tanya Ilham datar. Vitha semakin menunduk. Ilham berjalan mendekat. "Kamu masih punya waktu kok buat batalin semuanya." Bisiknya sembari berjalan ke arah pintu.

***

Kelanjutan cerita ini ada di KaryaKarsa

Tamat di akun KaryaKarsa aku

Happy Reading ❤️

Cinta Luar BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang