Jarum jam yang berwarna kuning tua itu menyatakan bahwa sekarang sudah pukul 7 malam. Tak seperti malam-malam minggu biasanya, Anastasia masih betah duduk sembari membaca novel di dalam kamarnya. Di atas sofa berwarna coklat susu itu dia asyik tenggelam dalam dunia fantasi ciptaan C.S. Lewis. Padahal biasanya ada saja yang dia lakukan dengan Zidan, sang pacar. Setiap malam minggu, lelaki pujaan hati gadis yang biasa dipanggil Sia itu tak pernah sekali pun absen kecuali kalau sedang sakit. Zidan selalu membuat gadis berambut coklat itu mau meluangkan waktu untuknya. Entah pergi kencan atau sekedar mengobrol di taman depan rumah Sia. Namun akhir-akhir ini sepertinya Zidan seperti tak punya sedetik pun waktu untuk diluangkan bersama Sia.
Pikiran Sia kembali ke realita ketika dia mendengar suara pintu diketuk dan beberapa saat kemudian Rendra, kakak laki-laki Sia satu-satunya, membuka pintu yang berwarna senada dengan sofa yang ada di kamar Sia. Lelaki jangkung itu tanpa ijin masuk dan merebahkan diri di atas kasur queen size milik Sia yang saat ini dilapisi oleh sprei dan bedcover berwarna hijau dengan sedikit aksen tribal berwarna ungu.
"Tumben belakangan ini kamu malam minggu nggak main sama Zidan. Ada masalah nih sama si dia?"
Sia hanya terdiam saat pertanyaan itu terlontar dari mahasiswa akuntansi itu. Hanya sebuah senyum kecut yang dia berikan untuk menanggapi pertanyaan sang kakak.
"Kenapa sih, Sia? Cerita lah sama kakakmu yang kuat ini, biar nanti kuhajar dia karena sudah membuat adikku yang manis ini gundah gulana." ujar Rendra sambil memamerkan otot bisep dan trisepnya yang mungkin bisa membuat seluruh wanita ingin menyentuhnya. Terkecuali untuk Sia tentunya, karena gadis bermata minus itu mungkin sudah terlalu bosan karena Rendra selalu memamerkan otot-ototnya yang baru saja terbentuk itu kepadanya.
Tawa Sia meledak ketika dia melihat wajah kakaknya yang terlihat konyol itu.
"Kak Ren, hentikan hahahaha kau terlihat sangat bodoh." ucapnya tanpa berhenti tertawa.
Ujung bibir Rendra bergerak naik ketika dia melihat adiknya tidak memasang ekspresi muram lagi.
"Jadi? Ada apa dengan pujaan hatimu?" tanyanya sekali lagi.
Tawa Sia berhenti. Raut wajahnya berubah serius. Setelah membenarkan letak kacamatanya yang sedikit melorot karena tertawa tadi, gadis itu mengambil napas panjang sembari mempersiapkan hati dan mulai membuka mulutnya.
"Jadi..."