RAIN : 19

99 14 0
                                    

Happy reading!
***

"Baru pulang?"

Yoon Seok menurunkan kacamata baca ketika didapati presensi dua orang pemuda baru saja membuka pintu depan. Tetes-tetes air hujan dari celana seragam yang mereka kenakan menghiasi lantai yang semula kering. Koran yang tadinya amat membuat pria itu larut selama bermenit-menit kini dilipat. Atensi ditujukan penuh pada dua putranya yang masih tampak berbalas candaan sebelum akhirnya melangkah masuk menuju ruang tengah. Yoongi membungkuk sambil membalas pertanyaan sang ayah, sedangkan Jungkook hanya membungkuk kemudian berkata dengan intonasi rendah, "Aku ke atas dulu."

Lengang sejenak. Hujan rintik di luar jendela merayap di pendengaran. Membawa suasana sore itu mendadak canggung. Yoon Seok berdeham sambil membenarkan posisi kaki yang tidak nyaman. Selanjutnya, Yoongi hendak pamit, tetapi segera diinterupsi oleh Yoon Seok. Pria itu mengangkat cangkir teh, menghidu aroma wangi di permukaan, lantas menyesap dengan irama teratur. Yoongi masih di sana, menunggu ayahnya bicara.

"Kau tidak terkena masalah lagi karena Jungkook, 'kan? Kalian pulang terlambat hari ini." Tanpa memandang Yoongi, dia kembali membuka koran, melakukan aktivitas yang sempat terjeda sesaat. Kacamata baca bertengger lagi di pangkal hidung.

"Ayah, aku harus naik ke atas dan berganti baju." Yoongi berkata sopan disertai senyum tipis, menahan dingin yang menembus kulit. Sebelum sempat pria itu menimpali, kakinya sudah lebih dulu melenggang. Baru beberapa langkah dia kembali berhenti. Menengok ke arah Yoon Seok sambil berujar, "Aku tidak pernah merasa terkena masalah apa pun karena Jungkook. Jangan bertanya begitu lagi. Bila Jungkook dengar, dia akan terluka." Detik berikutnya, dia benar-benar sudah naik ke atas, menuju kamarnya. Kening Yoon Seok berkerut. Napasnya dihela berat begitu berhasil meresapi kata-kata putra sulungnya tersebut.

Jungkook sudah berganti dengan pakaian hangat. Meja belajarnya digelar tugas-tugas sekolah yang belum dikerjakan. Begitu menumpuk sampai tak tahu harus mulai dari mana untuk mengerjakannya. Kebiasaan menunda-nunda memang selalu berakhir buruk. Tapi tetap saja, rasanya tidak pernah kapok bila harus mengulang hal yang sama. Napasnya dihela setengah jengkel.

Kepala Jungkook menoleh, mengikuti kursi yang berputar ketika ketukan di pintu kamar terdengar. Suara Yoongi memanggil dari baliknya dengan nada lembut.

"Masuk saja, hyung. Aku tidak mengunci pintunya."

Yoongi langsung merangsek ke dalam setelah membuka pintu, menilik apa yang sekiranya dikerjakan Jungkook hingga tampak begitu sibuk. Meja belajar berserak buku-buku—baik buku latihan soal maupun buku materi. Di sekitar buku-buku, terselip buku catatan poin yang sampul hingga bagian dalamnya agak sedikit basah, menyisakan noda luntur di tinta merah tempat jenis pelanggaran yang pernah Jungkook lakukan.

"Waktunya makan malam. Kau tidak turun?" Yoongi berujar. "Mau kubantu mengerjakan?"

Menimbang sebentar, kepala Jungkook akhirnya menggeleng. "Aku belum lapar. Hyung bisa makan terlebih dulu. Aku harus mulai menyicil tugas-tugas ini. Dan, oh, aku tidak ingin merepotkan."

"Dan, ya, aku tidak kerepotan. Mana, akan kuajari," timpalnya cepat.

Yoongi mulai menarik kursi lagi di sebelah Jungkook, duduk di sana dengan senyum senang, lantas meraih buku manapun untuk dikerjakan.

"Hyung, kau tidak boleh melewatkan makan malam. Aku bisa mengurusnya sendiri," tolak Jungkook secara halus. Yoongi tampak tak peduli, sibuk membuka-buka lembar halaman.

"Kubilang, aku bisa mengurusnya sendiri." Jungkook mengambil buku di tangan Yoongi. Desisan kecil meluncur dari bibirnya. "Aku lebih cekatan dari yang terlihat, tahu," tambahnya, penuh percaya diri.

Yoongi hanya terkekeh. "Benarkah?"

"Tentu saja."

"Baiklah kalau begitu." Yoongi akhirnya membuat keputusan. Dia menyerah memaksa adiknya tersebut. Terlalu keras kepala. "Turunlah kalau sudah selesai. Jangan begadang. Kau bisa mengerjakan sisanya besok," sambungnya. Dalam satu detik, dia sudah berdiri, mengembangkan senyum, lalu mengusap pucuk kepala Jungkook pelan.

Sepeninggal Yoongi, Jungkook mulai membuka tugas pertama. Baru melihat daftar pertanyaannya saja dia sudah mual dan tak berselera. Mengabaikan itu, ia lantas meraih ponsel di antara tumpukan buku.

Kim Taehyung, tugasmu sudah selesai? Bolehkah aku meminta jawabannya? Sebagai ganti, akan kutraktir kau makan daging sepuasnya besok.

Dia memutuskan mengirim pesan tersebut pada Taehyung sebelum kepalanya mendidih terlebih dulu sehabis melihat angka-angka yang rumit. Bila sedang dalam mode rajin, mungkin itu tidak akan terlihat rumit. Tapi, hari ini, untuk menjadi rajin saja dia sudah malas setengah mati. Hanya perlu bertemu dengan Wonwoo sekali saja bisa membuatnya seperti ini. Suasana hatinya benar-benar tidak bagus. Lagipula, dia masih belum mengerti kenapa kaki sialannya mendadak ingin menjejak di rumah itu. Sampai detik ini, dia pun tak pernah habis pikir.

"Aku pasti sudah gila," makinya pelan.

Lupakan tugas itu. Ada sesuatu yang lebih penting untuk diselesaikan malam ini.

Jungkook membaca balasan dari Taehyung setelah menunggu beberapa menit. Otomatis kerut di dahinya tak lagi bisa disembunyikan. Apa maksudnya?

Jemari Jungkook bergerak secepat mungkin. Belum sempat pesan balasannya terkirim, sebuah pesan baru masuk. Dari Taehyung.

Kau tahu Jooheon, bukan? Dia menantang kita malam ini. Aku sebenarnya malas, tapi dia memaksa bertemu denganmu. Bagaimana menurutmu?

Jungkook kembali mencermati pesan teman sekelasnya tersebut. Tentu dia tahu siapa Jooheon. Orang itu kerap menantangnya beberapa kali. Namun selalu saja dia tolak. Sama halnya dengan Taehyung, dia malas meladeni. Buang-buang waktu. Mereka hanya butuh pengakuan. Tidak lebih. Dan dirinya tidak perlu melakukan basa-basi untuk orang-orang semacam itu. Berlaku juga bagi Wonwoo dan kawanannya. Sialnya, dia tidak pernah tahu kenapa tetap saja terlibat. Ah, benar. Bedebah itu mengincar Min Yoongi untuk memancing emosinya.

Baiklah. Katakan padanya, aku menerima tantangannya.

Jungkook memutuskan menerima tantangan Jooheon. Dia ingin mencari bahan pelampiasan. Siapa tahu, dengan bermain-main sebentar bisa membuatnya bersemangat lagi alih-alih bosan mengerjakan tugas. Bahkan mungkin saja bisa mengenyahkan bayang-bayang wajah Wonwoo yang memanggil namanya seperti tadi untuk kali pertama semenjak dia ditendang dari rumah. Dia tidak suka ekspresi wajah lelaki Jeon itu. Dia tidak mau mengasihani apa pun perihal orang yang membuatnya membenci diri sendiri. Tidak akan pernah.

Apa? Apa kau serius? Kau tahu, bukan? Dia selalu berbuat curang saat bermain. Jooheon bisa saja membawa banyak orang seperti terakhir kali. Kau bisa habis kalau menerimanya begitu saja. Apalagi jumlah kita sedikit.

Jungkook berdecak keras mendapati ocehan Taehyung. Kalau tahu begitu, sejak awal tidak perlu memberi tahu dirinya. Nah, sekarang dia semakin ingin meninju wajah orang. Bila lelaki itu mau, dia bisa menonjoknya sebagai ganti.

Lupakan kalau kau tidak mau. Aku bisa menanganinya sendiri.

Baru saja ponsel itu hendak masuk ke saku celana, suara deringnya kembali terdengar. Rupanya Taehyung, lagi. Jungkook memutar bola matanya malas. Decakannya terdengar lebih keras.

Sendirian? Kau gila?

Baiklah, baiklah. Aku akan ikut denganmu. Berdoa saja bisa pulang dengan badan utuh.

Taehyung tampaknya menyerah dengan keputusan Jungkook. Suara gerutuannya bahkan bisa terdengar hanya dengan membaca pesannya saja. Tetapi tetap saja, hal itu membuat sudut bibir Jungkook terangkat sedikit. Hanya soal waktu agar bisa menyelinap keluar tanpa sepengetahuan Yoongi dan ayahnya. Selain dua hal itu, sepertinya akan baik-baik saja.

Kirimkan aku lokasinya.

***

To be continued ....

RAINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang