RAIN : 16

136 16 0
                                    

Happy reading!
Semoga suka 💜
***

"Kerja bagus. Kau dan orang-orangmu memang bisa diandalkan."

Setumpuk lembaran won dalam amplop cokelat berukuran sedang diserahkan pada seorang pria gempal berwajah sangar yang sejak tadi memainkan asap rokoknya di udara. Kekehan kecil keluar dari mulut si penyuruh, sedangkan pria di depannya sudah menyuguhkan senyum semringah. Sudah semestinya itu yang dilakukan.

"Tentu saja. Kau bisa mempercayakan hal semacam itu padaku," balas si pria dengan bangga. Tangannya dengan tangkas menghitung lembar-lembar berharga hasil 'jerih payahnya' usai menilik isinya yang terlihat sesak dalam amplop tersebut.

"Aku hanya tidak ingin mengotori tanganku saja. Tikus pengganggu seperti mereka memang pantas mendapatkan itu," katanya. "Ah, menyusahkan saja."

Si pria terkekeh, mengangguk-angguk takzim. "Kalau begitu, aku pergi dulu. Terima kasih untuk ini." Sebelah tangannya mengangkat sejenak amplop tersebut.

"Tentu," balas pemuda Song, memamerkan seringaiannya.

Sepeninggalan pria tadi, Song Mino masih di sana, menyandarkan punggung di tembok yang permukaannya kasar. Jemarinya terampil menyulut sebatang rokok yang baru diambil dari saku celana. Tawa renyah tiba-tiba keluar dari mulut. Entah tengah menertawakan apa.

"Hei," katanya, hampir seperti orang bermonolog. Tubuhnya tetap pada posisi tadi, tetapi ekor matanya jelas menangkap presensi yang berdiri tak jauh darinya. "Kau menguping?" lanjut Mino, tanpa mengalihkan pandangan barang sejenak dari tanah yang kini dia injak.

Tak lama, dia memutar tubuhnya, menghadap ke arah seorang pemuda dengan tinggi sedang, serta wajah tirus. Alisnya diangkat sebelah, sementara asap rokoknya berkepul-kepul di udara. Ada sirat kepuasan yang tergambar dari raut mukanya. Sepertinya, dia telah menangkap tangkapan yang lumayan besar.

Gara-gara pertanyaannya barusan, yang disinggung segera—meski terpaksa—menampakkan diri, keluar dari tempat persembunyian setelah lebih dari lima menit berdiri di sana. Ya, setidaknya itu yang Mino perkirakan.

"Seo Changbin?" Mino menyeringai sekali lagi. "Kau mendengarkan sampai mana tadi?" tanyanya. Tidak benar-benar berniat bertanya, sejujurnya. Dia hanya ingin memastikan bahwa pemuda berwajah tegas dan terkesan garang itu tidak berbohong. Mereka rekan, bukan?

Changbin berbalik, wajahnya tampak tak acuh. Bahkan dengan Mino memandangnya seperti itu tak lantas membuatnya merasa terintimidasi. Baiklah, dia mengaku telah tertangkap basah, tetapi apa pedulinya? Baginya, Mino hanyalah orang asing yang kebetulan memiliki koneksi dengan Wonwoo. Mau tidak mau, mereka harus berada dalam ikatan yang disebut teman.

Jadi, apakah memang benar mereka teman?

"Entahlah, aku juga tak yakin." Changbin membalas. Netranya di arahkan ke sekitar, mengamati lingkungan belakang sekolah yang terlihat sepi. Bel pulang sudah berdering hampir setengah jam yang lalu. Dia memandang Mino dengan seulas senyum tipis di sudut bibir.

Mendapat tatapan seperti itu, Mino terkekeh, lalu berjalan menghampiri Changbin. Sebelah tangannya menepuk pundak pemuda itu singkat.

"Kenapa? Kau berniat mengatakannya pada Wonwoo? Atau si kurang ajar adik Min itu?"

Changbin mendengus, mengenyahkan tangan Mino dari pundaknya sambil berkata, "Apa kau takut aku akan melakukannya? Benarkah itu?"

"Jadi, seberapa banyak yang kau dengar, Seo Changbin?" Mino mengendurkan dasi yang melingkar di kerah seragam. Tentu saja, bicara dengan Changbin tidak semudah yang dia perkirakan. Pemuda itu hampir sama dengannya yang tak ingin dipandang lemah ataupun dianggap seseorang dengan kepribadian yang mudah goyah.

"Sebanyak aku bisa melihatmu sekarang. Puas?" ujarnya, lagi-lagi tampak tak peduli. Dia sama sekali tak memiliki minat untuk mengulur-ulur waktunya di sini, dengan orang macam Song Mino. Kakinya sudah hendak beranjak, tetapi lelaki itu mencegahnya secepat yang ia bisa.

Mino tertawa, menepuk-nepuk bahu Changbin seperti seorang teman dekat. "Astaga, kau memiliki selera humor yang bagus," celetuknya. Namun, tatapannya berubah setelah sekitar tiga detik saling tatap dengan pemuda Seo tersebut. Senyumnya luntur perlahan.

"Kudengar kau sempat bertemu Yang Jeongin. Apakah itu benar?"

Changbin diam sejenak, lalu tersenyum miring. Dia baru sadar gelagat Mino setelah menyebut lelaki ingusan 'mainan' Wonwoo.

"Kenapa kau menanyakan hal itu?" tanyanya, "Tidak ada hubungannya denganmu, bukan?"

Sebisa mungkin dia menahan diri agar tidak mengumpat tepat di depan muka Mino. Bagaimana mungkin orang itu tahu dirinya bertemu dengan Yang Jeongin? Pastilah Mino tidak akan tinggal diam. Lelaki itu akan memanfaatkan situasi bila memang diperlukan. Untuk memojokkan dirinya, juga Yang Jeongin sendiri. Dia cukup tahu perangai Song Mino.

"Benar juga," ujar Mino. "Tapi, bukankah akan lebih menarik jika Wonwoo tahu? Kira-kira akan ada pertunjukan menarik apa lagi, ya?" Sengaja dia melirik wajah Changbin yang hanya terkekeh kecut. Meski dia tak tahu menahu hubungan antara orang di depannya itu dengan anak ingusan kemarin yang bahkan untuk menatapnya saja tidak berani.

"Apakah Min Yoongi belum cukup? Serakah sekali jadi manusia," ketus Changbin, meski yang keluar dari mulutnya adalah tawa renyah yang sok bersahabat. Wajahnya tersenyum, tetapi matanya menatap Mino tajam seperti hendak mengatakan tolong-enyah-saja-jangan-campuri-urusanku.

"Kalau begitu, kita bisa impas." Mino bersuara. "Tutup saja mulutmu, maka aku akan melakukan yang sama," imbuhnya.

Kali ini Changbin benar-benar tertawa. Ini menggelikan, sungguh. Sepertinya orang di depannya ini meninggalkan otaknya di rumah dan lupa membawa serta kembali. Kenapa harus bertele-tele seperti seorang pengecut?

"Hentikan, ini tidak lucu." Mino memberi peringatan. "Atau kau memang ingin melihat Yang Jeongin itu jadi bulan-bulanan Wonwoo," lalu jarinya menunjuk dirinya sendiri dan Changbin, "jadi bulan-bulanan kita? Begitu?"

Changbin mengangkat wajah, menoleh ke samping sambil menggerakkan lidahnya di dinding pipi—yang membuat pipinya mengembung sebelah. Kedua tangannya bertumpu di pinggang. Napasnya dihela dengan agak malas.

"Ya, Song Mino. Memangnya aku mengatakan apa, huh? Aku malas mengurus hal yang bukan jadi urusanku. Entah kau akan membunuh Min Yoongi, atau apa pun itu, aku tidak peduli."

Sejauh ini, kalimat tadi adalah kalimat terpanjang yang pernah dia katakan hanya untuk menyepakati persoalan tutup mulut. Dari awal dia sudah tidak tertarik, tetapi Mino yang membuatnya lebih jelas. Bukan salahnya bila ada saatnya dia akan benar-benar mengatakan apa yang dilihat dan didengarnya kepada seseorang yang bisa membuat Mino terjerat dalam jebakannya sendiri.

"Benarkah?" Dia berjalan selangkah lebih dekat, lalu mendekat, berbisik tepat di daun telinga Changbin. "Kalau begitu, kau memang ada hubungan dengan Yang Jeongin itu." Bibirnya tersenyum miring begitu melihat tangan sang lawan perlahan-lahan terkepal.

"Sekali saja kau mencampuri, aku tidak akan tinggal diam," ancam Changbin. Rahangnya mengeras, menciptakan gertakan pada gigi-giginya. "Kalaupun kau tetap melakukannya, aku tidak akan peduli," tandasnya. Lalu kaki-kaki jenjangnya melangkah, meninggalkan Mino yang mendengus keras-keras.

"Ah, benarkah? Kita lihat saja nanti. Apakah kau masih bisa berkata seperti itu lagi."

***

To be continued ....


RAINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang